Hujan kali ini, menyiramkan rasa dingin pada sekujur tubuh. Seorang diri di sebuah tempat yang sepi. Tapi, kadang aku merasa lebih senang sendiri. Menghabiskan waktu bermain kata dan imaji dengan jiwa sendiri. Lalu, menemukan kebahagiaan dalam regukan makna hasil perenungan diri.
Hari ini, pagi-pagi setelah menyambut anak-anak di halaman depan sekolah. Aku pergi ke kantin, untuk sekedar mencari sarapan. Menyapa Emak dan Abah pemilik kantin yang baik hati. Meskipun kadang ia terkesan cerewet pada anak-anak sekolah, yang kelihatan bertingkah nakal menurutnya; misalkan tidak masuk kelas ketika jam pelajaran berlangsung, atau melihat dua orang berpacaran di depan kantin.
Maka, mereka berdua dengan tak segan menegur mereka. Menasihati agar mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan itu salah. Memberinya pemahaman dan kesadaran agar ingat akan pengorbanan orang tua untuk menyekolahkan mereka. Banting tulang, demi anak-anaknya bersekolah layak, mendapat pengajaran terbaik, lalu mampu menjadi anak-anak cerdas yang berakhlak karimah.
Lantas, melaporkannya kepada guru agar ditindak lebih lanjut. Yah, itulah mereka. Pemilik kantin sekolah kami, juga orang tua yang sangat care kepada anak-anaknya.
Sekolah pagi itu tampak sepi, kelas tiga SMP sedang melaksanakan ujian sekolah. Lalu, anak-anak SD dan SMA sudah memasuki kelasnya masing-masing untuk mengikuti pembelajaran hari itu.
Aku yang notabene sedang tidak ada jam mengajar, sengaja tidak terburu-buru menghabiskan sarapan yang kubeli. Sambil menikmati hidangan ala kantin sekolah, sesekali kami saling menimpali pembicaraan ringan. Atau sekedar melihat tingkah lucu kakak beradik -anaknya Emak dan Abah pemilik kantin- bertengkar riang.
"Neng Guru ... euh tau nggak itu si Lintang. Dia mah sekarang udah jarang masuk sekolah. Sibuk ngebantuin orang tuanya cari uang. Padahal mah kan, waktunya sekolah mh sekolah waktunya belajar mah belajar. Entar juga dia, nyesel kalo udah keluar lulus atau mau kuliah nggak bisa apa-apa. Nggak bisa ngapa-ngapain. Umurnya aja gede, tapi kalau di suruh kerja celingukan." Nada Emak terlihat kesal membicarakan tingkah salah satu pelanggan kantinnya itu.
"Iya Neng, apalagi itu si Ranti. Euh dia mah kagak betah di rumah kayaknya. Kerjaannya ngelayap mulu. Pulang sekolah bukannya bantuin orang tuanya di rumah. Eh, dia malah maen sama temen-temennya. Mana jauh banget lagi mainnya." Abah menimpali.
Dalam hati aku berpikir, kok mereka bisa tahu ya.
"Itu Neng, banyak tetangga sini yang sering ngobrolin mereka. Si Ranti sama temen-temennya, kerjaannya motor-motoran mulu. Kapan belajarnya coba? Kapan bantuin orang tuanya coba?"
"Oh ..." Aku yang saat itu begitu fokus mendengarkan pembicaraan tentang kerisauan mereka terhadap anak-anak zaman sekarang. Hanya menimpali sesekali, tanpa banyak bicara. Sesekali tersenyum khusuk, mengangguk lalu lebih banyak menyerap kalimatnya ke dalam hati berharap dapat menyesap banyak makna.
"Belom lagi, itu si Rayhan sama pacarnya tuh yang kelas sebelas, si anu an tuh namanye lupa lagi gue dah ah. Siapa Pak namanye? Gue lupa." Ia berusaha meminta bantuan suaminya untuk mengingat nama salah seorang siswa.
"Itu si Sophia."
"Nah itu heeh, Neng. Mereka berdua -Rayhan sama Sophia kerjaannya kalo lagi istirahat ato nggak ada guru. Pacaran mulu. Mana depan kantin gue banget lagi pacarannya. Kan nggak tahu malu banget? Udah kayak suami istri aja tuh dua bocah. Nggak sayang apa sama diri sendiri. Mau nya di deket-deketin sama cowok yang belom jadi siapa-siapa kita. Mana masih muda tuh cewek. Pegangan tangan lah. Dan sebagainya lah."
Aku kaget. Mendengar dua nama tersebut. Seingatku, dua orang tersebut terkesan lugu dan nggak neko-neko.
"Iya, Neng." Timpal Abah. "Makanye, kita mah marahin bae tuh anak berdua. Biar tahu diri. Bisa jaga diri. Nggak sembarangan mentang-mentang cinta. Kemane-mane mau aja berdua. Kagak tahu apa yang ketiganya itu syetan. Udah gue laporin ke gurunye. Udah diperingatin sama gurunya juga. Sehari dua hari doang tuh anak insyaf. Besoknya berduaan lagi. Kayak gitu lagi. Empet banget nih mata ngeliat kelakuan bocah zaman sekarang, Neng Neng."
***
Aku teringat tiga empat tahun lalu. Saat aku masih berstatus seorang siswi SMK. waktu itu, aku masih berstatus siswi baru. Dan mungkin kamu tahu? Di usia segitu, aku sedang memasuki masa remaja alias hormon pubertas sedang merajai tubuh dan pemikiran saat itu.
Aku dibuat jatuh cinta, sama Kakak kelas yang sekaligus aktivis di berbagai organisasi. Jago taekwondo, berperawakan tinggi, tampan, cerdas, dan baik hati pula.
Ah, saat itu aku masih begitu polos. Ternyata, gayung bersambut. Kakak kelas itu pun menaruh perasaan yang sama. Sampai akhirnya, dia menyatakan perasaannya. Tanpa pikir panjang, aku lantas menerimanya. Setelah itu, kalau bertemu di organisasi ia akan lebih memamerkan aku sebagai pacar kesayangannya, atau sekedar memberi perhatian lewat pesan singkat.
Waktu terus berjalan, gelagatku terlihat berbeda mungkin. Ibu dan Bapak sepertinya menangkap perubahan yang terjadi padaku. Aku yang terkadang sering tersenyum-senyum sendiri tanpa jelas alasannya. Atau berlari-lari riang seusai membuang sampah ke halaman samping. Atau lebih banyak bermain ponsel di kamar.
Hingga suatu ketika, aku dipanggil Ibu dan Bapak ke kamarnya.
"Silvi sini ..... Ibu sama Bapak mau bicara nih!"
"Ah ada apa sih, Pak. Kan aku lagi belajar buat besok."
Yap. Kebiasaan di rumahku memang seperti itu. Setelah sholat maghrib, tadarus quran, makan malam dan sholat isya berjamaah di rumah. Kami lantas ke kamar masing-masing. Aku, Kakak, dan Adik belajar dan mengerjakan tugas-tugas sekolah masing-masing.
Ibu dan Bapak pun sama. Mereka sibuk dengan pekerjaan di kantornya.
"Sini ... nih, ada Kakakmu juga disini."
Aku pun beranjak dengan malas meninggalkan tempat tidur, buku-buku bergeletakan, dan tentunya sebuah kotak kecil berisikan ponsel kesayangan yang terus saja menyala menerima pesan-pesan dari Kakak kelas itu, menuju kamar Ibu dan Bapak.
"Sini, Bapak mau ngasih uang untuk bayaran. SPP bulan ini belum dibayar kan?"
"Iya sih, belom, Pak."
Aku tersenyum lantas menerima amplop berisi uang untuk bayaran bulan itu.
"Uang jajan bulanan masih ada kan?"
"Hmmm masih, Pak." Aku sedikit meringis menjawab itu.
"Jangan sering jajan yang nggak penting. Apalagi beli pulsa keseringan. Buat sms sama siapa sih emang, Vi?"
"Nggggg ..Nggak Pak."
"Buat sms pacarnya kali, Pak." Timpal Ibu yang notabene sedang duduk di samping Bapak di samping kasur berwarna coklat muda.
"Iyaa, jangan pacaran dulu deh anak kecil mah. Sekolah dulu yang bener. Belajar yang bener. Banyakin nabung tuh. Kan mau kuliah kan nanti?" Timpal Kakak cewekku yang sudah memasuki semester kedua kuliah. Ia tengah asyik memandangi laptop sambil mengetikkan abjad di keyboard.
Aku kikuk. Tiga orang menyerbuku dengan kalimat-kalimat yang jawabannya sungguh sangat ingin kusembunyikan. Karena, kalau ketahuan bisa habislah aku dicincangnya.
"Ngggg. .. Nggak kok, Pak, Bu, Kak. Silvi nggak pacaran. Silvi belajar dengan serius, kok!"
"Yaudah, baguslah kalau gitu. Ibu sama Bapak cuma khawatir. Silvi kebawa-bawa sama temen-temen Silvi. Kamu kan lagi masa pubertas, masa remaja, kami paham, kok. Tapi kita sebagai orang yang tahu aturan agama. Silvi harus pandai menjaga pergaulan sama lawan jenis yaa."
"Kenapa Ibu nggak izinin Silvi ikut ekskul taekwondo, PMR, aktif di OSIS, dsb. Ibu cuma ngizinin Silvi ikut IREMA aja. Karena, dari situ Silvi juga bisa belajar banyak hal. Terutama Silvi jadi punya benteng pergaulan yang baik, nggak sembarangan bisa deket sama cowok apalagi pacaran."
"Iiyaaa, Bu ..."
"Itu kok, waktu kemarin hari Sabtu Silvi pulang telat? Kan harusnya setengah hari aja belajarnya. Biasanya jam 11 juga Silvi udah pulang." Kakak menambahi pembicaraan.
Aku yang sedang duduk di kursi dekat Kakak memainkan laptopnya. Gugup sekali untuk menjawab. Lidah rasanya kelu, bibir rasanya kram untuk sekedar mengucap beberapa kata.
"Kata temen sekelas Silvi, si Diani itu. Silvi dibonceng sama laki-laki ya. Katanya dia Kakak kelas Silvi."
Jlebbbb ...
Aku gugup bukan main. Menundukkan kepala. Sambil tangan dan kaki terus meremas-remas jari.
"Hhhh ... itu, Bu. Dia ...."
"Yaudah, siapa pun itu. Yang penting Ibu, Bapak, sama Kakak berpesan jangan pacaran ya, Nak. Jaga rasa malu dan kehormatanmu sebagai seorang wanita. Kamu sekarang sudah semakin beranjak dewasa. Harus lebih pandai dan bisa menjaga diri. Ibadahnya tilawahnya ditingkatkan. Belajarnya yang rajin."
"Iya, Bapak percaya. Silvi nggak bakal pacaran kok, ya? Nanti aja punya pacar mah kalo udah nikah ya?"
Aku sayup-sayup mendengar suara Kakak terkekeh menahan tawa.
Aku pun mengangkat kepala dan memandangnya sinis. Lantas kembali menundukkan kepala.
"Iya, Pak, Bu. Insyaallah Silvi nggak pacaran. Silvi pasti bisa jaga diri." Aku menunggingkan seutas senyum manis pada Ibu dan Bapak. Lantas mencubit pipi Kakak yang masih saja menahan tawa.
"Apa sih Vi ... sakit tau."
"Husshhh ... yaudah, sekarang Silvi lanjutkan belajar yaaa. Jangan kemalaman tidur nya. Kan besok harus sholat malam dan shubuh berjamaah sama Ibu dan Bapak."
"Siappp, Bu."
Aku lantas segera berdiri dari tempat duduk, berlari menuju kamar yang cukup berdekatan dengan kamar Ibu dan Bapak. Dengan perasaan tak karuan.
"Duh untung nggak ketahuan, untung mereka nggak tahu cowok itu siapa." Batinku sesampai di kamar berdindingkan hijau cerah dan seprei berwarna biru tua.
Tritit ... tritit ...
Hah suara pesan masuk. Pas kulihat ternyata itu dari laki-laki yang mampu merebut hati Silvi.
"Kak, maaf sebelumnya. Kalau memang tidak apa perlu dan kepentingan. Jangan hubungi aku ya. Kita jaga jarak. Sekarang aku harus pandai jaga diri. Kita putus yah, Kak ..."
Klik pesan terkirim.
Tak lama ponselku berbunyi lagi.
"Apaaaa? Kok kamu tega gitu Silviii? Ia memasang emot sedih dan marah secara bergandengan.
Hap tak aku balas. Ah setidaknya lega ... Aku sudah memutuskan tali hubungan yang tak jelas. Dan jelas-jelas tidak Allah ridhoi. ..
Meski keadaan hatiku malam itu. Sejujurnya masih sedih dan tak karuan. Tapi, demi menaati Ibu dan Bapak sekaligus sebagai baktiku kepada Allah. Aku harus berbuat seperti itu.
Ada buliran rintik hujan yang menetes membasahi pipi dan ponselku. Tapi, hatiku sudah lebih lega rasanya dengan memutuskan hal itu.
"Silvi, jangan lupa makan malam dulu. Itu makanan kesukaan Silvi masih ada di meja makan. Makan dulu yaah."
"Iiiiyaaaa ..., Bu..." Aku lantas mengelap basah di pipiku untuk terus keluar mendengar seruan makan dari Ibu.
***
Ini hanya sekelumit kisahku dulu, yang sangat bersyukur di kala aku sedang memasuki usia remaja. Ada orang tua dan keluarga, yang tidak pernah lengah memberikan perhatian, kepedulian, dan kasih sayang kepada anak-anaknya.
Mereka mendampingi, membimbing, mau berdiskusi dan menjadi temanku. Atau bahkan kadang menegur dan memarahi di kala aku mulai melenceng dari arah yang benar.
Mereka akan dengan sigap, langsung mengambil tindakan perhatian dan pencegahan yang tidak membuat kami trauma ataupun merasa diasingkan dengan sikap kami yang salah.
Salah satunya cerita diatas. Alhamdulillah aku kala itu bisa segera terhindar dari yang namanya pacaran dengan lawan jenis meski itu sebatas perhatian lewat pesan singkat. Tapi sesungguhnya menyita perhatian dan membuat Allah tidak suka.
Peran keluarga menciptakan keluarga yang harmonis, kasih sayang orang tua dan guru. Sejujurnya itu sangat penting untuk membentengi kita anak-anaknya dari sikap dan pergaulan yang tidak baik.
Karena berawal dari kenyamanan dan kehangatan sebuah keluarga. Kami akan enggan membuat mereka kecewa bahkan ingin senantiasa membuat mereka bangga dan bahagia dengan adanya kita, anak-anaknya.
Mungkin, adanya sikap yang kurang baik dari ketiga anak diatas adalah salah satu kesalahan kita. Abai terhadap perkembangan usia mereka yang sangat membutuhkan kasih sayang, perhatian, kepedulian, dan kehangatan dari kita sebagai orang tua, keluarga, lingkungan, ataupun pendidik.
Untuk menghindarkan anak-anak muda, generasi penerus kita adalah tugas kita bersama. Tidak hanya tugas yang dibebankan kepada mereka saja. Sehingga mereka dituntut untuk menjadi anak baik, anak cerdas, sholih-sholihah, sementara kita abai mendampingi setiap perkembangan mereka.
Oleh karena itu, ayo kita perhatian sama mereka. Berikan mereka tempat pulang ternyaman, sehingga mereka enggan untuk keluar dan jauh-jauh dari kita apalagi hendak mengecewakan dengan perangainya yang nakal.
Tak ada anak yang nakal, hanya mungkin saja ada salah kita dalam memberikan pendidikan dan pendampingan kepada mereka.
***
Ah, mendengarkan Emak dan Abah bercerita tadi. Sekaligus memberikan wejangan-wejangan dari mereka selaku orang yang lebih tua. Rasanya, aku rindu bercengkrama dengan Ibu dan Bapak sekeluarga di rumah. Membicarakan berbagai hal, sambil menikmati pisang goreng dan kopi hangat untuk Bapak di ruang keluarga.
Ternyata Mb fitri seorang guru
BalasHapusLagi belajar aja, Mbak ... 😁
BalasHapusMba fit nama kecilnya silvi yaa;)
BalasHapusBukan hehe itu mh nama samaran aja Mbak Mab 😁
HapusCerita ttg murid2 nya sama dg cerita muridku mbak. Semngat bu guru...
BalasHapusHihi iya semangat juga Mbak Rika 😙
BalasHapusKe ke ke.. Jadi ieu teh cerita pengalaman nyalira atau fiksi?
BalasHapusFiksi ko bun hehe
Hapus