Rabu, 12 Juli 2017

Keanehan

"Berangkatlah, Nak! Hapus segala keraguan di hatimu. Tak ada yang perlu di khawatirkan, semuanya akan tetap baik-baik saja. Asalkan hatimu lapang dengan sabar dan syukur kepada takdir Sang Maha Baik."

"Huh ... Iya, baiklah! Mendengar nasihatmu aku sedikit lebih lega dan bersemangat menyeberangi jalan ini."

"Berangkatlah, Nak. Aku akan tetap setia menungguimu disini. Di depan sana di balik gedung bertingkat dengan dinding hijau bertuliskan nama-nama sahabat Nabi, meskipun penuh perjuangan tapi akan kau temukan cahaya yang akan bisa selalu kau petik sinarnya di masa depan."

Gadis mungil itu pun melambaikan tangan dengan seringai senyumnya menghapus kemelut memberanikan diri menyeberang ditengah ramai kendaraan jalanan kota.

***

Jalanan ini menjadi saksi bisu antara aku dan   halaman kehidupan. Bermacam wujud manusia sering menemuiku. Mereka sekadar bertamu, duduk-duduk, menikmati hidangan kopi pahit dan manis alur hidup. Ataupun sekedar lewat, menatapku, lalu pergi begitu saja.

Awalnya aku tak biasa mendengar caci maki manusia-manusia itu. Mereka seperti kehilangan nalar. Pergi dari rumah mencari tumpukan rupiah dengan menodong tangan di trotoar jalan. Muka sangar mereka mampu meluluhlantahkan mental pemberontak para supir angkot. Tunduk berlemah lembut padahal hati ngedumel kesal.

"Mana setorannya? Udah lama kagak ngasih setoran lu!" Bentak seorang wanita dengan tangan memegang rokok yang sedang mengepul.

Dari wajahnya aku mengira dia belum terlalu tua. Namun, penampilannya sungguh membuat aku takut. Ia macam preman yang kerjaannya memintai uang pada setiap sopir angkutan.

"Ini Mbak." Sahut seorang Bapak tua sambil menyodorkan beberapa lembar uang.

"Laah masa cuma segini sih, Pak! Yang bener dong. Kalo nggak, nggak usah narik disini lagi."

"Yaa jangan gitu dong, Mbak. Saya butuh makan. Keluarga saya harus dinafkahi." Ah, aku sungguh tak tega melihat raut muka Bapak itu. Memelas dengan wajahnya yang menghitam karena terik matahari ibu kota.

"Makanya sini uangnya yang bener." Wanita itu merampas uang berwarna merah dari tangan Pak supir.

"Mbak jangan yang itu, saya kasih makan anak saya pakai apa kalau uang itu semuanya diambil, Mbak."

Batinku menjerit melihat tingkah kurang ajar wanita itu. Kalau saja aku mampu akan kusuruh ia tak usah bekerja. Lebih baik di rumah, banyak beristirahat, menikmati masa tua bermain bersama cucu-cucu yang lucu.

***

Di siang bolong kala aku tengah setia menunggui sang gadis pulang dari tempatnya belajar. Ku tengokkan wajah ke kiri dan ke kanan. Barangkali sang gadis sudah akan menyeberang pulang.

Tiba-tiba terdengar suara berdebam.

"Ah, kurang ajar para penumpang itu. Ngasih duit pun susahnya minta ampun. Padahal gue udah nyanyi, minta-minta dengan nada melas sama mereka. Orang-orang itu emang kurang ajar, pelit huh ..."

Kutelisik setiap ingatan di otakku, melihat penampakan anak laki-laki berkisar usia 17 tahunan itu. Wajahnya lusuh. Bajunya kumal. Tato dan tindik dimana-mana.

"Ah iya, dia pengamen jalanan itu." Gumamku.

Beberapa tahun lalu dia datang kesini dengan wajah yang masih lugu hendak mencari peruntungan di ramai kota. Kebosanannya tinggal di desa karena tak bisa bersekolah apalagi cari duit memaksanya harus merantau.

Tapi, kini seperti ia tak tahan dengan kejamnya Ibu kota yang kejamnya melebihi kejam ibu tiri.

Yang kuketahui profesinya adalah mengamen dari satu mobil ke mobil lain dari satu bis ke bis lain atau dari satu restauran ke restaurant lain.

"Aahhh ... kejamnya hidup. Siapa yang harus aku salahkan. Gue lelah ... untuk cari makan pun susahnya bukan main bah bah" Aku mendengar rintih batinnya ngilu.

Di usianya yang sekarang, seharusnya ia sedang menempuh pendidikan sekolah menengah atas. Penuh hangat dengan kasih sayang dari keluarga. Senang-senangnya bermain dan menghabiskan waktu dengan tugas sekolah dan teman-teman SMA-nya.

Tapi, apa yang terjadi bahkan untuk bersekolah pun ia sudah tak punya harapan. Kuketahui beberapa kali mencuri dengar rintihnya, orang tuanya sakit-sakitan. Ayahnya tak bekerja. Ibunya begitu sabar merawat adik yang masih sekolah dasar, sambil melakukan pekerjaan apa saja yang penting dapat uang untuk makan sehari-hari.

"Dik, andai saja aku bisa. Ingin sekali aku menyekolahkanmu sampai kau puas belajar. Menuntut berbagai macam ilmu yang berguna buat kau hidup supaya bahagia kau di dunia dan punya bekal untuk di akhirat. Tak usahlah kau hiraukan cari uang untuk makan apalagi untuk menafkahi keluargamu di usia yang masih belia itu." Rintik air membasahi pelupuk turun deras tak terasa.

***

Dilain waktu, aku saksikan mobil-mobil mewah lewat. Di dalamnya sekeluarga lengkap hendak berwisata menikmati liburan panjang. Ku tangkap dari rona wajahnya ketika ia berhenti sejenak meminggirkan mobil. Mereka keluarga bahagia.

Ya, ada seorang Ibu anggun dengan balutan jilbabnya. Tengah bercengkrama dengan ketiga anaknya. Yang paling besar, anak laki-laki belakangan ku ketahui sudah merampungkan S2 nya di luar negeri, sudah bekerja di perusahaaan besar di Australia, dan baru saja beberapa hari menikah.

Dan kedua anak daranya. Sungguh cantik-cantik dan baik hati sepertinya. Dengan hangat dan ramah, mereka tengah bercanda asyik memperbincangkan tentang kuliah mereka di luar negeri, tentang aktivitas yang ingin dilakukan di tempat liburan nanti setelah sampai. Atau tentang makanan yang ingin mereka makan, untuk makan malam nanti di restauran mahal langganan mereka.

"Aku mau ayam teriyaki, Bunda." Sahut Shakira si bontot yang bongsor.

"Kalau aku, mau es krim aja deh bunda. Masih kenyang tadi siang udah makan." Sonia menyambut.

"Hm hm hm kalau Abang mau makan apa aja deh, yang dipesan sama Bunda."

"Iya iya ... nanti tinggal kita pesan kalau udah sampe di restaurant tempat temannya Ayah itu." Sahut sang Bunda menenangkan keriuhan mereka.

"Eh, apasih anak-anak Ayah ini pada berisik. Ayo kita berangkat lagi, ayah udah selesai teleponnya."

"Ayo ayah ... kita liburan ... Kami capek kemarin-kemarin sibuk sama tugas kuliah dan belajar. Hehehhe" Sahut ketiga anaknya serempak.

"Ayooo  ... jangan lupa baca doa dulu ya."

"Siap mom dad ..."

Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju tempat liburan yang sudah sangat mereka nanti-nantikan.

Ah, sungguh damai sekali melihat keluarga bahagia dan sempurna menurutku. Kedua orang tua yang bertanggung jawab, dan membahagiakan anak-anaknya. Pun anak-anak yang baik hangat terhadap keduanya."

***

Eh, gadis itu sudah akan menyeberang pulang. Ia segera menuju tempatku dengan hati-hati.

"Hei gadis, udah selesai belajar dan kerjaannya?"

"Udah dong, Alhamdulillah. Sekarang waktunya aku pulang ... beristirahat, mengerjakan tugas kembali, belajar, dan persiapan lagi untuk besok."

"Syukurlah."

"See you lampu merah dan bahu jalan. Esok aku akan kembali lagi menyapamu yaaa." Pamit sang gadis dengan riang.

Aku tersenyum melihat tingkah lucunya sambil menaiki angkot menuju tempat tinggalnya.

Ah, semoga kau tetap bertahan dengan macam-macam kebaikan dan tugas yang kau emban gadis manis.

***

Hari sudah semakin gelap. Dan aku tetap setia menjadi saksi bisu bermacam perjalanan kehidupan lalu lalang umat manusia.

Tangerang, 12 Juli 2017.

Senin, 03 Juli 2017

Energi Sejuk di Padang Gersang

Beliau adalah energi positif di tengah padang gersang. Kala yang lain coba mencibir -yang sesungguhnya mampu menjatuhkan mentalku, maka sungguh ia bersabar membimbing dan membersamai setiap proses perjalananku ke arah yang lebih baik.

Bagi sebagian orang mungkin menjadi pribadi yang baik dan sesuai harapan itu sangatlah mudah, namun tidak halnya bagiku. Rupa-rupanya aku harus belajar dan bekerja lebih keras dan ekstra untuk mencapai tujuan yang diharapkan itu.

Tapi, lagi-lagi ia tak bosan menjadi sinar bagi perjalanan panjang yang harus kulalui. Beliau bersabar dan menerimaku apa adanya tanpa tekanan apapun.

Meluruskan keliruku, mendengar keluh kesahku, menebar hangat dan cahaya bagi setiap sudut asa pada citaku. Membimbing dan menegur dengan halus namun sangat berbekas kesannya pada bathin.

Hingga saat ini, usiaku sudah mencapai kepala dua lebih ia tetap tak bosan menjadi tempat tumpah bahkan tempat ledak tangisku yang membuncah. Ia tahu, aku tidak sempurna bahkan kadang belum sesuai harapnya.

Namun lisannya sungguh terjaga dari membanding-bandingkanku dengan orang lain yang notabene lebih baik, lebih cerdas, lebih dan lebih ...

Tahukah? Sungguh sakitnya hati seorang anak ketika dibanding-bandingkan dengan anak lainnya?
Padahal setiap orang memiliki prosesnya masing-masing.

Sampai saat ini, aku belum menemukan tempat pulang serindang kepulangan kepadanya. Manusia langka berhati emas.

Allah ... dalam hati aku sangat bersyukur dipertemukan dengannya. Energi positif dan kesejukan di tengah gersangnya padang bumi.

Maka, biarpun jarak membentang, waktu terlentang diantara kami. Kepulangan kepadanya adalah hal yang selalu kurindui dan kusyukuri di setiap ingatku.

~ Dalam perjalanan Tangerang hari ini.

@Fitriani Nurul Izzati

Minggu, 02 Juli 2017

Di Persimpangan Renjana

Pada pendar bola mata yang mengerling di persimpangan jingga itu. Ada tatap yang tak kusadari menangkap jejak langkahku.

Ah, hei. Aku berusaha memutar ingatan mengingat setiap sosok yang bisa kuingat. Ia berhenti, lantas mengeluarkan suara lucu dan khasnya.

Hmm ... Beberapa detik suara itu masuk ke dalam memori otakku menyambungkannya hingga sontak membuat hatiku bersorak.

Dia ...

Sosok yang selalu kusemogakan dan kurindui dalam-dalam hingga membuat dadaku sesak bukan kepalang. Ribuan hari aku ingin bertemu dengannya bahkan ketika jarak begitu dekat beberapa waktu lampau. Kita belum dapat bertemu karena semesta belum merestui.

Dan kini, di waktu pikiranku fokus pada hal lain beserta banyak rimbun target di kepalaku. Ia hadir di depan mata tanpa disangka-sangka.

Hei, betapa begitu mudahnya bagi Allah untuk mempertemukan kita kembali ketika Dia sudah berkehendak tanpa pernah terpikirkan oleh kita barang sedikitpun.

Selamat berjumpa kembali dengan gadis imutmu, Tuan. Di tempat dan waktu yang tidak terduga, yang kunamai itu sebuah hadiah tidak terharga.

***

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Sesederhana hari yang terus bergerak maju dan berlalu tanpa menyisihkan sedikit kesempatan bagi kita untuk sekedar meminta dan bertanya. "Bisakah berhenti barang sebentar saja hei waktu?".

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, sesederhana nafas yang terjaga dari rongga paru-paru di tubuhmu.

Aku adalah angin yang ingin terus membelai lembut wajahmu, kala engkau kelelahan ataupun dalam kebahagiaan tak terkira sekalipun.

Aku adalah selimut bagi kekar tubuhmu yang membuat engkau sungguh wibawa di jiwaku. Engkau adalah jiwaku yang berada pada ragamu.

Aku senang duduk bersebelahan di sampingmu. Bahkan hanya sekedar mendengar nafasmu kala berbicara dengan lembut.

Aku senang berjalan bersama di sampingmu, membicarakan hal-hal ringan yang mampu membuat jiwaku ringan nan riang. Kita adalah sepasang jiwa yang diliputi ketenangan, kenyamanan, dan bahagia yang luar biasa.

Setiap hal tentangmu adalah memori yang selalu kurindui. Pada setiap jengkal di rona wajahmu adalah ombak kebahagiaan tidak terkira yang menyeruak memenuhi rongga di ruang bahagia dan syukurku.

Setiap hal tentangmu adalah memori yang selalu kurindui. Aku senang duduk bersebelahan di sampingmu bahkan hanya sekedar mendengar desah nafas lirihmu.

Aku senang kala kita bertemu pandang,  saling merasakan ada satu sama lain. Aku senang kala kita berjalan bersama menyamakan irama langkah lalu engkau mendahuluiku menjadi pemimpin atas arah hidupku.

Untuk setiap momen kecil yang tak terharga, engkau adalah jiwaku. Membersamaimu adalah liburan dan hiburan yang paling menyenangkan bagiku.

Aku tidak pernah merasa sia-sia menghabiskan setiap detik bersamamu. Sampai bertemu kembali, Tuan. Kita adalah dua jiwa yang sedang berjuang meraih kecintaan dan kemuliaan hidup yang hakiki.

Jangan pernah merasa lelah ataupun malas saat kita mengorbankan setiap waktu untuk melaksanakan tugas dari-Nya. Merenda waktu, menenun masa depan yang kita harap adalah sebuah kecemerlangan dan kebahagiaan hidup yang hakiki.

Sampai bertemu kembali, Tuan. Saat aku kembali menungguimu di pelataran rumah yang rindang itu. Bertemankan senja dan irama sejuk pepohonan di pekarangan rumah -kita.

Tasikmalaya, 30 Juni 2017.

Persimpangan Renjana

Pada pendar bola mata yang mengerling di persimpangan jingga itu. Ada tatap yang tak kusadari menangkap jejak langkahku.

Ah, hei. Aku berusaha memutar ingatan mengingat setiap sosok yang bisa kuingat. Ia berhenti, lantas mengeluarkan suara lucu dan khasnya.

Hmm ... Beberapa detik suara itu masuk ke dalam memori otakku menyambungkannya hingga sontak membuat hatiku bersorak.

Dia ...

Sosok yang selalu kusemogakan dan kurindui dalam-dalam hingga membuat dadaku sesak bukan kepalang. Ribuan hari aku ingin bertemu dengannya bahkan ketika jarak begitu dekat beberapa waktu lampau. Kita belum dapat bertemu karena semesta belum merestui.

Dan kini, di waktu pikiranku fokus pada hal lain beserta banyak rimbun target di kepalaku. Ia hadir di depan mata tanpa disangka-sangka.

Hei, betapa begitu mudahnya bagi Allah untuk mempertemukan kita kembali ketika Dia sudah berkehendak tanpa pernah terpikirkan oleh kita barang sedikitpun.

Selamat berjumpa kembali dengan gadis imutmu, Tuan. Di tempat dan waktu yang tidak terduga, yang kunamai itu sebuah hadiah tidak terharga.

***

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Sesederhana hari yang terus bergerak maju dan berlalu tanpa menyisihkan sedikit kesempatan bagi kita untuk sekedar meminta dan bertanya. "Bisakah berhenti barang sebentar saja hei waktu?".

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, sesederhana nafas yang terjaga dari rongga paru-paru di tubuhmu.

Aku adalah angin yang ingin terus membelai lembut wajahmu, kala engkau kelelahan ataupun dalam kebahagiaan tak terkira sekalipun.

Aku adalah selimut bagi kekar tubuhmu yang membuat engkau sungguh wibawa di jiwaku. Engkau adalah jiwaku yang berada pada ragamu.

Aku senang duduk bersebelahan di sampingmu. Bahkan hanya sekedar mendengar nafasmu kala berbicara dengan lembut.

Aku senang berjalan bersama di sampingmu, membicarakan hal-hal ringan yang mampu membuat jiwaku ringan nan riang. Kita adalah sepasang jiwa yang diliputi ketenangan, kenyamanan, dan bahagia yang luar biasa.

Setiap hal tentangmu adalah memori yang selalu kurindui. Pada setiap jengkal di rona wajahmu adalah ombak kebahagiaan tidak terkira yang menyeruak memenuhi rongga di ruang bahagia dan syukurku.

Setiap hal tentangmu adalah memori yang selalu kurindui. Aku senang duduk bersebelahan di sampingmu bahkan hanya sekedar mendengar desah nafas lirihmu.

Aku senang kala kita bertemu pandang,  saling merasakan ada satu sama lain. Aku senang kala kita berjalan bersama menyamakan irama langkah lalu engkau mendahuluiku menjadi pemimpin atas arah hidupku.

Untuk setiap momen kecil yang tak terharga, engkau adalah jiwaku. Membersamaimu adalah liburan dan hiburan yang paling menyenangkan bagiku.

Aku tidak pernah merasa sia-sia menghabiskan setiap detik bersamamu. Sampai bertemu kembali, Tuan. Kita adalah dua jiwa yang sedang berjuang meraih kecintaan dan kemuliaan hidup yang hakiki.

Jangan pernah merasa lelah ataupun malas saat kita mengorbankan setiap waktu untuk melaksanakan tugas dari-Nya. Merenda waktu, menenun masa depan yang kita harap adalah sebuah kecemerlangan dan kebahagiaan hidup yang hakiki.

Sampai bertemu kembali, Tuan. Saat aku kembali menungguimu di pelataran rumah yang rindang itu. Bertemankan senja dan irama sejuk pepohonan di pekarangan rumah -kita.

Tasikmalaya, 30 Juni 2017.