Selasa, 31 Januari 2017

Misik Pada Bumi

Dia adalah sekat diantara nafas yang memburu. Terengah-engah berlalu tak karuan arah. Ia adalah kompas penunjuk jalan, kala logika buntu dimakan kalap tanpa gelap.

Dia adalah semerbak wangi kesturi pada duri diantara necisnya mawar yang tengah mekar. Kau akan tahu, dia akan rela tertusuk duri demi menyelamatkan mawar dari sengatan yang membuatnya layu.

Ya, ia adalah sosok misterius. Susah ditemukan. Sangat mahal pula harganya.

Kamu tahu?

Ia adalah emas langka yang sangat sulit kudapatkan di tengah-tengah kumpulan makhluk di zaman ini.

Kala diri, hanya sibuk dan asyik dengan dunianya sendiri. Lalu, ia hadir meruntuhkan paradigma berpikir: bahwa ternyata sosok itu masih ada.

Ya, ia adalah sosok --- rela berkorban --- tanpa hirau ia peluh ataupun lelah yang menjelma dan merasuk pada diri manusia. Ia makhluk penerjang pasrah.

Lalu? Dengan kedalaman rasa yang sakti menghujam pada bathinku dengan sosok itu. Mampukah kau sosok yang baru hadir menawarkan aroma yang lebih semerbak wangi diantara misik duniawi yang ada.

Ataukah hanya sebatas penghilang penat dan dahaga saja?

Kau: Sikap Rela berkorban. Sangat dibutuhkan, mendamaikan bumi manusia, dan melangitkan harapan pada semesta.

Izinkan aku menebar benih ajaibmu, menyemai asa pada hati yang mencari. Semoga kau, ikhlas dan bahagia tertanam kuat dalam jiwaku.

Hei sosok rela berkorban ...

Senin, 30 Januari 2017

Memar Pada Rongga Dada

Hari ini aku ditampar telak oleh seorang lelaki dengan usia dibawahku. Jujur saja, aku sering meremehkannya. Tak mempedulikannya. Menganggapnya nakal dan tak cocok berbicara denganku yang cenderung idealis dalam segala hal.

Gila! Manusia macam apa aku ini. Sombong dan tak punya hati kok nggak ketulungan!

Samar-samar aku dengar telpon berdering dengan nada yang cukup asing. Karena tak biasanya, ada yang menghubungi ke nomor ini. Sehubungan nomor ponsel ada dua, dan yang satu ini memang jarang digunakan.

Hmmm ...

Kutengok ponsel dan tertera nama kontaknya memanggil.

"Ah dia, untuk apa dia menelponku. Tak biasanya," Gumamku dalam bathin.

"Halo ... Assalamu'alaikum ..."

Terdengar sapa dari seberang. Lama aku tak mengeluarkan suara. Meneliti apa yang akan dia ucapkan.

"Wa'alaikumsalam ... Iya, ada apa?!" Jawabku ketus.

Nadanya terdengar bijak. Suara berbalut wibawa itu menggema di telinga.

"Hmm ... ada apa nih anak?! Kagak biasa begini, nelpon. Sok perhatian banget. Biasanya juga cuek aja." Aku masih terheran-heran sambil berdiri  memegang ponsel yang masih menunggu kelanjutan pembicaraan.

"Sehat toh? Gimana Mas Rifai sudah ada telpon belum?"

"Sehat, kok. Hm emang ada apa Mas Rifai?"

"Itu kan dia. Udah gue suruh buat anterin Lu, Mbak. Lu mau berangkat kuliah ke Yogya kan. Gua nggak tega lah biarin lu pergi sendirian. Berhubung gue nggak bisa nganterin, karena lagi sibuk kerja. Gue minta tolong dia, buat nganterin lu sampe ke pintu kos dan memastikan kalau lu baik-baik aja nggak kurang suatu apapun."

"Hhhh ... " Aku melongo.

Seingatku, aku tak pernah bercerita padanya tentang rencana keberangkatanku ke Yogya kali ini. Dari mana dia tahu?

"Oh iya, itu udah gue transfer uang buat kuliah. Kalau masih kurang bilang, jangan diem aja!"

Hah ... Darimana dia tahu, kalau masih ada kekurangan biaya transport dan kuliahku.

"Eh iya iya, makasih. Emang kamu sekarang kerja dimana?" Kali pertama aku melontarkan pertanyaan entah sebagai wujud perhatian atau penasaran.

"Sekarang gue kerja di perusahaan tambang di Malaysia. Lu yang semangat kuliahnya. Jangan sampe putus. Kalau butuh apa-apa bilang. Dengerin nih! Jangan dipendem sendiri aja! Awas, jaga diri. Belajar yang bener disana."

" Ehhh ... Iya iya ... kamu juga hati-hati disana. Jaga kesehatan. Jangan lupa sholat. Tenang, gue pasti bilang kok kalo ada apa-apa."

" Okay, take care lo disana. Kalau udah nyampe yogya nya bilang yaa ..."

"Okay ..."

" Yaudah, Assalamu'alaikum ..."

" hhh Waalaikum salam ..." Aku tergagap menjawab salam dengan pikiran yang masih terheran-heran.

Ponsel ditutup. Selesai.

Segera ku cek riwayat pesan.

Seminggu lalu, aku menghubungi ayahku yang masih kerja di Lampung. Untuk segera pulang, dan meminta bantuannya pindahan dan meminta kekurangan uang biaya kuliah yang cukup tinggi awal semester ini.

Tapi, aku cek lagi. Ternyata tak ada balasan sama sekali.

Sedih, kecewa telak memenuhi rongga dadaku. Ingin menangis, tak ada sama sekali wujud perhatian dan rela berkorban untukku sebagai anaknya yang tengah berjuang menggapai cita-cita. Berkuliah di universitas ternama di yogya.

Sementara dia, adik lelakiku yang sudah lama tak ku hubungi, aku asingkan dari  sudut hati. Dia sosok gunung es, beku. Dingin. Anak nakal. Tak cukup egoku meruntuhkan kalimat sekedar sapa padanya. Ia telah aku abaikan ribuan waktu lamanya.

Dan ia hadir, seolah memberi harapan dan lautan emas empati siap menyumbangkan pertolongan terbaik untuk mewujudkan cita-cita yang sudah sangat lama aku impikan.

Yah, ia lebih muda dariku beberapa tahun. Namun, rupanya otak dewasanya lebih baja menghancurkan rintangan hingga ia sampai pada pekerjaannya sekarang.

Huh ... Ternyata dewasa bukanlah soalan usia. Bukanlah soalan pendidikan tinggi. Bahkan ia yang hanya kuliah strata satu pun tak sampai lulus namun mampu membuktikan hebat dan empatinya.

Aku tak tahu bagaimana ia sampai di kemapanannya sekarang, bagaimana perjuangannya, karena yang aku ingat terakhir kali bertemu adalah dia sosok pembangkang dan tak punya belas kasih.

"Kau sudah berubah, Dik! Aku yang buta!

Minggu, 29 Januari 2017

Selasar Makna

Aku menerima tetesan merah darah, pada gurat nadi yang berdetak setiap detik. Mengeluarkan semburat jingga, pada semarak senja yang merona; cinta.

Cinta, aku tanpamu adalah lembu yang kehilangan arah. Limbung dan hampa. Aku nanar, lunglai, tanpa daya. Tanpa asupan nutrisi bergizi dari nurani yang tak pernah ingin menang sendiri.

Berhari-hari. Ribuan detik. Ratusan jam. Aku melewati waktu, dalam balutan kain indah yang dibungkus dalam kertas suci dan merasuk jauh dalam memori sukmaku. Itu berasal dari satu ikatan yang tak ada ujungnya. Lisan dan pelukan yang menenangkan. Mendendangkan lagu penuh irama. Menampar aku dari mimpi panjangku.

Hari ini, aku bertemu kau kembali; cinta yang terpancar dalam rona tenang mata air, berdiri,  membungkukkan badan dalam kesyahduan yang tiada kira menusuk bathinku. Aku dan engkau, cinta. Tersungkur dalam sujud panjang penuh isak. Dalam.

Aku tak tau, kedalaman bathin yang kau miliki. Namun, dari rona wajahmu aku menerka; kau bukan cinta biasa. Selasar makna itu menggunung himalaya. Mencabik-cabik logikaku terhunus pedang ketajaman hati yang kau tunjukkan lewat perjalananmu yang tidak biasa. Akar-akar tajam yang merintangi jalanmu mencapai tujuan itu, kekar kau taklukan. Hingga mereka bertekuk lutut tanpa daya; tekadmu membelah samudera mutiara lebih kuat dari aral yang menghadangmu.

Cinta, kau hadir membawa mimpi baru pada musim liburanku kali ini. Menyamai benih yakin, bahwa rasa yang hadir di dalam dada itu harus diperjuangkan dengan mengikuti perjuangan terbaik mendapatkan pertolongan dari Sang Maha Pemilik langit.

Aku menggumam pilu. Kau meresah syahdu, dalam hutan matamu yang menumbuhkan berbagai macam prasangka. Aku kalut, kau begitu raja membunuh kelemahanku.

Sampaikan salamku, pada riak malam yang telah mengantarkan diri ke tempat peristirahatan disambut senyuman mesra penuh pesona.

Aku selalu menanti hari-hari dimana kita akan bertemu. Bertemu dalam balutan yang tidak biasa.

Suatu sore dalam lingkaran penuh makna. Dalam senyum dan tatapan mata perantara cahaya Illahi.

Kau adalah lautan cinta dalam sosok-sosok jiwa yang mencabik-cabik kedalaman makna tidak biasa.

Sampai bertemu kembali.
Aku selalu menunggu, hari itu akan tiba kembali.
Kita berkumpul dalam lingkaran cinta.

Jumat, 20 Januari 2017

Sini, kembalilah! Renjana tengah memasungku, karenamu, Nak!

"Ada apa?" Tanyaku lekat dalam hati

"Kenapa mukamu manis durja? Tak kutemukan seringkali senyum mendamaikan seperti biasanya aku temui di wajahmu?"

"Ada apa?" Aku benar-benar membanting

Raut muka dan tatapan penuh benci itu, benar-benar menusuk, meremuk-remuk tiang-tiang kedamaian yang sedang susah payah aku bangun dalam istana --- hati.

Remuk redam. Aku ditusuk. Sembilu penuh ngilu. Memar, rasa dipukul telak tajam sampai ke ulu terdalam. Sesak.

"Ada apa?" Aku menatapnya kembali dengan tatapan memelas.

"Kenapa kamu tega berbuat seperti itu, Nak? Salah apakah yang telah kuperbuat? Hingga dirimu tak rela menyingsingkan senyum barang sedikitpun?"

Aku pilu. Dadaku sesak. Hingga aku berusaha mencari celah, menghangatkan suasana. Aku kembali riang ceria meski dalam bathin betul-betul sesak menangis menahan irisan pisau tajam yang sudah kau hujamkan pada sukmaku.

Aku mengoceh kesana kemari, mengundang gelak tawa si muka-muka polos nan manis. Tak hanya itu, tak hanya tertawa yang aku jadikan tujuan. Aku ingin sekali memupuk ketauhidan dan aqidah yang akan menancap kuat dalam bathin keimanan kalian. Kalian harus jadi generasi yang kuat. Kalian harus jadi generasi yang bermanfaat. Kalian harus jadi generasi yang penuh dengan cahaya; haus untuk selalu menuntut ilmu. Kalian harus jadi generasi pejuang; yang memperjuangkan kebaikan dan kesejahteraan orang banyak. Kalian harus jadi generasi yang penuh dengan rahmat dan sayang Allah.

Banyak sekali pikiran yang menyelubungi kepalaku. Kala berhadapan dengan kalian. Di pundakku, tanggung jawab itu terhujam. Aku mempunyai tugas menyampaikan, meluruskan, dan memberikan seberkas cahaya yang aku punya kepada kalian. Agar kalian kelak bisa menebarkan cahaya lebih banyak dari yang aku punya.

Mereka tertawa riang, bercanda ria, ramai dengan persahabatan dan cinta ala mereka yang membuatku gemas untuk memeluk erat mereka. Jadi, anak sholeh-sholehah ya, Nak. Semoga Allah selalu ridho terhadap kalian. Ah, rasanya sayang dan cinta kami ingin sekali kami luapkan semuanya padamu. Namun, kami harus bersabar melewati setiap tahap yang harus diikuti. Agar yang kami berikan tak hanya asal-asalan. Tapi berbekas lama dan abadi. Yang akan menuntun kalian, pada kebaikan dan kebahagiaan hakiki.

Selamat menikmati hidup kalian dan masanya yang tak akan terulang. Semoga kalian berjiwa iman kuat dan bahagia selalu.

Ah, mulutku sudah berbusa menerangkan ini itu. Mengajakmu tertawa dan bahagia dalam lingkaran penuh canda dan hangat roma.

"Ada apa? Kenapa mukamu tak lemas-lemas menurunkan durja?"

Jika aku bersalah, mohon maafkanlah. Tapi tolong jangan hukum aku dengan muram muka dan ketus ucapanmu, Nak.

Aku sakit dan sungguh sesak. Sungguh tiada banding. Serasa gelap dunia luruh pada seluruh sinaps di otakku. Serasa malam akan terus berlanjut dalam pekatnya, tanpa kembali melihat sang mentari cerah tersenyum padaku.

"Ada apa, Nak? Bicaralah padaku dengan baik? Tak ada niatku berburuk ucap. Kau tahu sayangku tak terkira untukmu."

Berhentilah bermurah durja, Ibu rindu senyum hangat dan celoteh cerdasmu. Sini, kembali ke pelukan hangatku. Aku Ibumu. Jangan kau siksa aku dengan gelap dan tajam delik matamu; membenci. Sini, bersamaku. Kita belajar banyak hal lagi. Tanpa perlu merasa risih ataupun risau. Aku akan selalu ada untukmu, menyayangimu dan berusaha yang terbaik untuk kebahagiaanmu. Semoga kebahagiaan hakiki itu kelak engkau dapatkan, Nak. Semoga kebahagiaan hakiki itu kelak kau dapatkan, Nak.

Bolehlah kau marah padaku. Bolehlah kau benci padaku. Tapi, itu berarti kau sedang mengulurkan pedang api tepat sasaran pada batinku. Merusak seluruh tulang penyangga tubuh; lumpuh. Aku lumpuh, lemah, remuk tiada daya.

Senyummu mampu mengalihkan duniaku, Nak. Tak usah kau muluk-muluk memberi berbagai macam rupa kesukaanku. Cukup. Senyummu mampu mengalihkan duniaku, Nak. Padahal sebelumnya angin ribut di kepalaku tak kunjung usai diterpa badai dan tsunami yang menerjang. Tersenyumlah, merajuklah. Senyummu mampu mengalihkan duniaku, Nak. Sini, kembali ke pelukanku, habibi.

Kamis, 19 Januari 2017

Belum Selesaikah, Tugasku!

Hari ini aku berhadapan dengan matahari. Menantang akar-akar yang berseliweran, kerikil, bebatuan tajam, yang besar-besar dan menyebabkan waspada dalam kehati-hatian. Aku menuruni jalanan yang curam, pun menaiki jalan bak tebing dengan kemiringan 270`.

Pergi! Kataku, pergi! Pergi! Ucapmu dengan nada amarah penuh kebencian.
Aku menurut saja. Meski sebenarnya, sungguh susah bukan kepalang melangkahkan kaki. Jika mengingat, jalanan terjal yang akan mengantarkanku pada tujuan.

Pergi! Kataku, pergi! Pergi!
Untuk apa kau disini, membelai lembut dan mesra diriku. Membuatku bahagia tiada tara. Sampai-sampai lupa bahwa kau lebih berhak untuk pergi dan berbahagia di tempat tujuanmu.

Pergi! Kataku, pergi! Pergi!

Aku mematung gagah penuh wibawa. Seorang gadis berbatik dan jilbab orange berhadapan dengan matahari, saat ini. Seringai senyum jahat aku tebarkan, pada pesona yang sudah kutinggalkan di tempat pemberangkatan.

Rasakan kau! Tak ada lagi yang akan melirik dan menina bobokan dirimu mulai sekarang! Hahaha
Aku rasa menang, digjaya jiwa bukan kepalang.

Langit biru megah, dihiasi awan cerah yang indah. Eksotis! Kataku masih mematung, memandang gerbang perkasa yang menjadi sekat antara aku dan sebagian bola matahari yang tengah bersinar memancarkan bias pelangi pada pagi hari. Bersahabatkan angin dan lambaian tangan si hijau yang bekerja sama memenuhi bumi.

Tinggi, pendek, semua membentuk bangunan sejuk  bak karya arsitektur tak terjamah dunia. Ia terkenal bahkan sampai pada dunia yang kasat mata.  Pemandangan yang kudapat saat terbang beberapa waktu lalu.

Terbang, saat ini aku tengah terbang. Kembali. Memerhati bumi. Megah. Bangunan menjulang. Dan aku yang menggagahkannya. Apa daya ia tanpa sinarku? Hah, kau akan redup!

Bangunan megah, embun menyelimuti gunung-gunung menghembuskan aura kesejukan, tiada banding. Dingin menusuk! Tapi tenang, ada aku yang akan setia kembali menghangatkan pagimu melewati jalan menuju sawah dan kebun di hutan rimba sana, Pak Tani! Ada aku yang akan mengaliri seluruh tubuhmu, tanpa risau tulangmu akan kembali remuk dan patah karena pekerjaan bertani yang cukup menguras seluruh sendi. Aku memperbaiki seluruh sumsum tulang dan melancarkan aliran darahmu! Meski aku juga kadang memanggangmu dalam panas terik di tengah sawah, menahan lapar dan membuat topi sawah kau kenakan meleleh di jidatmu yang menghitam. Gosong olehku! Ucap matahari.

Langit menjadikan bumi hidup dengan segala peralatan yang tersedia di alamnya. Aku, sang kuning yang kaya dengan segala manfaat. Bulan, bintang, langit yang kadang pekat kadang terang, dan awan yang eksotis menampilkan atraksi yang tak terduga seperti apa kelanjutan kejutan menawannya.

Ah, tunggu-tunggu. Bumiku rupanya tak berbahagia. Kenapa mereka bersedih, padahal langit dan aku setiap hari bekerja sama mempergantikan siang dan malam; agar mereka senang dan tenang.

Kenapa diantara mereka ada yang meringis, kesakitan. Memegang perut dan kepalan tangan yang melemah. Menguruti kepala yang pening, menahan dahaga.

Ah, rupanya kerjaku belum sempurna. Di awal pagi sudah ku usir kau dengan tamparan keras hingga kau berlari terbirit-birit. Hei, lemas malas yang memberangus isi kepala dan badan. Sudah kunetralisir semua virus dengan badanku yang semakin terang muncul ke permukaan bumi.

Tapi ...
Rupanya cahayaku, belum tuntas memberangus rasa lapar dan mengetuk nurani manusia untuk membagi bahagia; bahkan hanya sekedar roti penegak tubuh.

Kemanakah ia? Yang tadi kulihat berseliweran dengan mobil mewah, dan kendaraan-kendaraan waaah, memanen setiap rupiah.

Ah, tak apa. Aku hanya sedang mendekat pada Rabb-ku dengan perut yang hampa dari lezat dan sedap makanan dunia. Katamu, saat aku mengiba pada sakitmu.

Ah, Iya. Rupa takkan kembali digjaya. Untuk akhirat jangan sampai melupa. Biarkan ragamu terlatih memasuki alam kekosongan. Sampai kosong dan benar-benar kosong. Dan temukan kenikmatan ruhani yang tiada banding rasa. Digjaya aku digjaya! Matahari menatap bangga dan luka! Kenapa aku tak sampai menerka, kau sungguh rupawan hei pemuda dunia!

Karang Tengah, 19 Januari 2017

#ODOP_3
#Prosa Liris

Senin, 16 Januari 2017

~ Riak Harapan ~

"Ceraikan aku sekarang juga, Mas. Selama hidup denganmu 18 tahun lamanya, tak pernah sekalipun aku merasa bahagia. Kamu tak becus membuatku senang. Ceraikan aku sekarang juga, Mas," Teriak seorang wanita

Raungan tangis seorang gadis kecil terdengar, suaranya pelan.

Hening.

Ia kembali terisak, seolah sesak dan trauma mendengar teriakan di dalam rumahnya.

Di sudut pintu, nampak seorang lelaki perawakan sedang dan penuh wibawa tengah berdiri. Diam. Tak ada yang ia lakukan. Mematung dengan tatapan mata nanar. Tangannya berkacak pinggang sesekali mengurut kepala dan kulit wajah coklatnya.

Di sofa, nampak seorang wanita. Yang geram menahan kesal amarah. Ruangan berantakan. Piring pecah, letak kursi-kursi tak beraturan.

"Ceraikan aku, Mas. Ini peringatan terakhirku."

***

Suara jangkrik kembali bertalu dari kebun belakang rumah yang ramai oleh anak-anak bermain sepak bola.

"Ramai nian ... ah, mengganggu sekali aku yang mau tidur ini. Lebih baik aku berlindung ke jendela rumah itu." Keluh sang jangkrik menghibur diri

Kemudian ia melipir ke dinding jendela belakang rumah sang Tuan.

"Sulis ... balikin bukunyaaaaaa," Teriak Zahra dari dalam rumah.

"Nggak mauuuu"

"Balikin nggaaaaak???!
Balikin ... Sulis ... itu punya aku. Kamu nggak boleh baca. Suliiiissssss." Kesal Zahra semakin memuncak. Mukanya cemberut, merah padam. Sambil tangan berkacak pinggang.

Sementara, Sulis terus berlari mengitari halaman rumah sambil cekikikan melihat Zahra marah dan kesal karena kelakuan jailnya.

"Sulis, siniin bukunya, Hiks." Suaranya semakin memelas.

"Ye ye ye ye, nggak mau." Sulis malah semakin jail meledek Zahra sambil mengipas-ngipaskan buku merah jambu berpita hijau bertuliskan 'Zahra's diary'.

Entah berapa rahasia isi buku itu. Zahra, benar-benar tak mau buku itu diambil bahkan sampai dibaca orang. Termasuk Sulis adik bungsunya.

Ah, tak ada yang tak mungkin bagi cewek periang dan jail semacam Sulis. Ia bahkan dengan riang senang tanpa wajah berdosa mengambil buku diary Zahra, dan sempat membaca satu halaman di diary sebelum Zahra berteriak keras meminta kembali miliknya.

Zahra, adalah Kakak Sulis. Usianya 20 tahun dan masih kuliah semester 4 di jurusan akuntansi di UPI Bandung.

Sementara Sulis, masih berusia 16 Tahun dan tengah duduk di kelas 2 Aliyah. Berbeda dengan Zahra yang dulu mengambil sekolah umum, Sulis lebih memilih mondok di sebuah pesantren quran di Ciamis.

Pertengkaran lucu antara dua bersaudara ini tak bisa dielakkan ketika mereka berkumpul di rumah tatkala liburan sekolah tiba.

"Nih, aku balikin! Gitu aja kok nangis sih, Kak. Tenang, aku nggak baca semua kok. Cuma dikit," sapanya setelah lelah berlari dan mengganggu Kakaknya yang tengah terduduk di teras depan sambil menikmati pemandangan depan rumah dibelai angin nan sejuk.

"Huh dasar, adik paling baik dan gemesin alias ngeselin," Ketus Zahra

Kini mereka berdua duduk berdampingan. Dua gadis berjilbab manis lengkap dengan bros bunga hasil buatan mereka sendiri.

***

Halaman rumah yang cukup luas dan asri berlantaikan rumput negeri yang hijau, berhunikan macam-macam bunga; anggrek, mawar dan melati.

Ada juga dua buah pohon naga yang mulai berbunga dan berbuah. Konon bunganya mekar ketika malam tiba.

Teras depan dengan ubin putih berseri adalah tempat nongkrong favorit mereka, menikmati pemandangan depan rumah.

Zahra masih terlihat sendu. Dengan buku merah jambu di pelukan. Tatapan ke depan, ia asyik menikmati dunia pemikirannya sendiri.

~
Jika waktu mampu ku ulang
Maka, ribuan detik masa akan kuredam
Demi memberi kesadaran dan bahagiakan diri
Bahwa kamu tak perlu hadir membawa mimpi

Jahat.
Kamu hadir dan memberikan harapan
Melihatmu seolah menyadarkanku
Bahwa dunia itu penuh damai dan menyimpan; kebahagiaan yang tak semu

Bahagia itu tak semu
Karena dari senyuman dan matamu
Menjanjikan, ketenangan dan klimaks bahagia yang hakiki.

Hingga aku terjerat dalam mimpi --- yang tak pasti
Kidung asmara yang kini membara
Harus kuhapus tandus
Biarkan ia kembali sepi; mengiba pada Sang pencipta

Sampai bertemu, semoga kamu kembali.
Ah, salah.
Sampai berbahagia, semoga kita semakin rela
Pada takdir yang sudah direka

Dari desa di ujung embun, 13 Juli 2014.
~

"Aku membaca puisimu, Kak. Di halaman pertama diarymu. Tak lebih dan hanya itu. Maaf." Senyuman jail Sulis yang mulai insyaf itu mampu meluluhkan puncak amarah Zahra .

Senyuman gadis itu mengembang, ia menghambur ke pelukan sang adik.

"Jangan lagi-lagi ya. Aku bukan bermaksud tertutup sama kamu, Lis. Cuma ya Kakak belum siap aja buat terbuka banyak hal sama kamu, tentang isi diary itu. Kakak sayang kamu ko, Lis." Zahra merajuk

"Idih, Kakak gitu yah. Nggak mau terbuka. Puisimu itu bikin aku tambah penasaran tau, Kak. Ah, tapi sudahlah. Nanti kalau sudah mau cerita, pintuku terbuka lebar untukmu, Kakak cengeng. *eh hehe peace."

"Dasar adik jail dan ngeselin tapi baik hati dan ngangenin huh," Sergah Zahra

Mereka saling berpandangan dan kembali tertawa bersama.

"Ha ha ha .... "

Suasana rumah yang hangat dan nyaman, selalu menjadi tempat yang paling syurga buat mereka melepaskan rindu.

Kriiikkk ... kriiikkk ...
Suara jangkrik sang pendengar setia dari balik jendela.

"Hihihi ... adik kakak yang aneh," tukas jangkrik meledek

***

Tak tik tuk.

Suara sepatu kuda yang hendak mengantarkan penumpang ke tujuan ramai terdengar dari jalan aspal depan rumah,  mengiringi cengkrama mereka di teras di bawah rindang pohon rambutan yang tengah berbuah lebat.

"Liburanku udah selesai, Kak. Besok aku pulang lagi ke pondok. Sebenarnya di pondok itu cape sih, Kak. Aku harus bangun pagi banget sebelum shubuh.

Mandi ngantri, nyuci baju sendiri, terus harus setoran hafalan quran juga habis sholat shubuh. Kan itu lagi enak-enaknya buat tidur Kak, ngantuk. Hoaamzzz. Kalau di rumah kan enak tidur." Manja Sulis.

"Ya itu kan udah jadi pilihan kamu, Lis. Buat sekolah di Aliyah sambil mondok. Ya risikonya begitu. Tapi, kamu senang kan tinggal disana?"

"Yaaa, senang banget dong Kak. Seneeeng banget. Ya, meskipun kadang suka sambil ngantuk-ngantuk atau masih suka ngeluh dikit. Aku bahagia kok, Kak. Soalnya dengan begitu, cita- citaku buat jadi penghafal quran bisa tercapai."

"Heem, Kakak doain lancar tercapai cita-citanya."

"Aamiin, thank u Kak." Peluk manja Sulis pada Zahra.

"Hmmm, btw Kakak gimana kuliahnya?"

"Kuliah Kakak ... Alhamdulillah seru banget. Ketemu dosen sama temen-temen tiap hari. Berjibaku sama tugas-tugas yang bejibun. Kadang harus begadang, kurang tidur. Tapi, senang karena bergaul sama ilmu dan dunia pendidikan."

Dua tahun lagi, semoga Kakak lulus kuliah. Dapet kerjaan yang mapan. Lanjutin S2, terus nikah deh. Hehe"

"Ihh, masya Allah. Sukses ya Kak. Eh iya, Kakak emang masih deket sama siapa deh Hmmm ... Kak Ramdan itu ya ?"

"Ihh, apa deh. Nggak." Zahra salah tingkah  mukanya memerah.

"Apa jangan-jangan puisi manis itu tentang Kak Ramdan itu ya, Kak ? Hayooooo ... ngaku. Ntar aku bilangin sama Bang Irham lho! Biar Kakak cepet-cepet dinikahin sama pria idaman Kakak yang tampan, sholeh, baik hati, dan cerdas itu. Hayoooo, Kakak ngaku," Seru Sulis masih saja usil pada Zahra.

"Udah deh Sulis ah. Eh istri Bang Irham udah hamil yaa. Pasti beliau seneng banget. Apalagi dengar-dengar bayi di kandungannya kembar, Lis." Alih Zahra.

"Ihh kakak ngalihin pembicaraan. Eh tapi iya ya. Yeeee aku bakalan punya keponakan kembar. Uhhh seruuuu. Pengantin baru, bahagia banget. Pasangan serasi dan menginspirasi. Mereka menikah tanpa pacaran sama sekali. Nggak kayak Kakak tuh pacaran mulu?" Delik mata adiknya meledek Zahra.

"Ihh apaan sih, Lis. Nggak juga," bantah Zahra dengan keras. Meski jauh di lubuk hati, ia memang sedang berbahagia dengan mencintai seorang laki-laki yang sangat ia harapkan kelak menjadi imam terbaik di hidupnya.

"Benar-benar terjaga sekali ya. Eh, tau-tau Kak Ishita hamil kembar. Kapan kita jenguk mereka, Kak?" Mata Sulis berbinar-binar membicarakan tentang Abangnya.

Bang Irham, adalah Abang kesayangan mereka. Ia berusia 30 tahun. Sudah lulus S2 dengan predikat cum laude, dari sebuah universitas ternama di Australia.

Setelah Irham menyelesaikan pendidikan S2, ia bekerja sebagai dosen di salah satu Kampus  Negeri di Jakarta. And then,  ia mendapat jodoh orang Jakarta. Kak Ishita, wanita lemah lembut, cantik, nan berperangai baik.

Kini mereka berdua tinggal di Jakarta,  di sebuah perumahan yang tak jauh dari tempat kerja Bang Irham. Sambil merintis usaha makanan dan properti yang tengah digelutinya.

Pulang ke rumah orang tua yang di Sumedang ini, ya paling kalau lagi libur panjang saja.

"Nanti setelah sholat ashar kita telpon Abang ya, Sulis."

"Ayo, Kak."

Kumandang adzan ashar syahdu terdengar dari mesjid di kampung mereka. Bersama burung-burung camar yang  berlarian di langit biru dan cerah seperti keadaan hati mereka berdua.

***

Ada kemelut yang ia sembunyikan dalam semburat senyum dan gelak tawa bersama adiknya. Zahra memang benar-benar orang yang mampu bermuka dua

"Usia kamu udah cukup, Ra. Kamu udah seharusnya berfikir untuk menikah. Ibu sama Bapak sudah punya calon yang baik buat kamu. Dia sudah lulus kuliah, baik, dan punya kerjaan mapan," Seru Mamahnya di dapur sambil memasak opor.

Dan Zahra mendengarkan disana, sambil membuat adonan cilok makanan kesukaan sekeluarga.

"Iya, Ra. Gimana kamu tuh. Menikah muda di seusia kamu itu lebih baik dan terjaga. Apalagi kamu kuliah jauh dari Papa sama Mamah. Merantau nge-kos di Bandung. Apa kamu udah punya calon sendiri heh?"

"Ih apaan sih Mah Pa, ntar dulu dong. Aku kan masih mau fokus kuliah sama bebas menikmati masa mudaku."

"Ah, kayaknya Zahra udah punya calonnya Pah." Selidik Nadya; Ibu berwatak tegas tapi penyayang milik mereka

"Ih, Mama ... tuh opor ayamnya awas kematangan." Zahra masih saja selalu mengelak, jika membicarakan tentang hal itu. Ia masih belum mau terbuka tentang seseorang yang masih sangat ia harapkan.

***

Liburan sekolah sudah berlalu. Sulis sudah kembali ke pondok.

Sementara, Zahra masih ada jatah libur dari kampus dua minggu lagi.

Beberapa saat setelah Sulis pergi. Zahra iseng pergi ke kamar Sulis. Terlihat ia coba mengobati rindu yang masih basah pada adiknya.

Greekkkk ...

"Apa ini?" Buku usang berwarna biru berlukiskan dua gadis manis yang tengah tertawa riang.

S & Z

"Ah, Sulis." Mata Zahra berkaca membaca dua huruf manis bertengger di buku.

Bahasa lain dari cinta di bumi yang harus aku ungkapkan adalah pada adanya dirimu. Meskipun, kamu emang kadang ngeselin manja iseng nggak ketulungan. But u are love and mine, sista. Semoga aku masih punya waktu banyak membersamai dan melihatmu sebahagia itu," Angin membelai lembut wajah Zahra yang tengah bergumam penasaran untuk membuka buku berwarna biru itu.

Halaman acak ia buka.

"Hah." Ia menemukan kata menggelikan sampai membuatnya mual tapi bahagia.

"Tuhan, semoga Kak Zahra cepat nikah ya sama Kak Irham. Aku ingin melihatnya bahagia dengan seseorang yang sangat ia harapkan. Jangan cuma mengharapkan dalam doa dan diam aja kayak sekarang. Eh, lulus dulu kuliahnya ding. Eh, tapi nggak papa deh. Haha

Tulisan  polos dan semrawut yang sepertinya ditulis Sulis iseng tapi tulus.

"Suliiiisssss, awas yaaaaa kalau pulang aku ulek jadi sambal terasi pedas kamu," Gerutu Zahra menahan gelak kesal.

"Hmmmh ... harapan dan Irham. Adalah dua mata pedang yang terus menggerus nadiku hingga di titik ngilu. Aku gerah geram pada harapanku sendiri, hingga ia membuat mataku nanar. Penglihatanku kabur. Hatiku teriris, pada ketidakpastian. Ataukah aku harus menerima calon pilihan papa.

Papa dan mama, memang bukanlah orang tua kandungku.
Tapi, mereka adalah permata berharga dalam hidup yang Allah anugerahkan. Takkan pernah terbersit bahkan sampai terjadi --- hal yang membuat mereka sakit hati.

"Zahraaaaa itu bukan anakmu, Pah. Buat apa kau urusi dia. Di suruh nikah sama orang mapan dan tampan aja nggak mau."
Teriakan mama bagaikan kilat menyambar relung terdalam jiwa Zahra

"Jika ia tak mau kita jodohkan, tak usah kau biayai lagi itu kuliahnya. Biar ia cari makan sama biaya kuliah sendiri. Usah kau peduli. Dengar nggak mama bicara, Pah." Mama terdengar sangat murka membicarakan perihal Zahra

"Sudahlah, Ma. Besok juga nurut dia apa kata kita. Sabar saja lah." Papa berbicara tenang tanpa reka

"Mah, Pa aku memang bukan anak kandung kalian. Tapi, aku tak bisa menentukan pilihan begitu saja. Aku pun punya hak."  Lirih Zahra ia meradang, memar-memar pedih terasa semakin menusuk di sumbu batin.

Ia tersiksa menahan isak sendiri di kamar berdinding hijau dan merah muda itu.

"Tuhan, ini berat. Hatiku selalu saja sesak berat ketika mengingat hal itu. Badanku kurus kering kerontang, bagai kekeringan yang melanda hebat pekarangan dan halaman di terik panas raja matahari.

Sampai kapan aku harus berharap? Sementara ia belumlah siap dan mapan!

Haruskah menerima sedang hati masih dilanda kecelakaan; keraguan hebat melanda. Jika menuruti pilihan Mama. Hhhhhhh." Zahra melepaskan nafas berat tanpa aral seolah beban berat dipundak begitu menghujam.

Berkelebat wajah mama, papa, Zahra, Bang Irham, Ramdan, dan ... kedua orang tua kandung Zahra yang entah tak pernah peduli lagi keadaannya. Satu persatu seolah menari di alam pikiran.

Zahra merasa sempit di tengah harapan yang menyesakkan pada Ramdan. Ia adalah keturunan keluarga terpandang. Namun, kerendahan hati dan ketulusan yang terpancar dari manis perhatian juga tingkahnya sudah menanamkan asa yang dalam pada sanubari Zahra. Mengakar kuat, hingga seolah takkan pernah bisa dicabut bahkan dihancurkan sekalipun.

Mustahil!

Irham memiliki keshalihan yang mempesona. Gelagat wibawa dan lembut perangainya pada wanita bahkan mampu membuat Zahra luluh tanpa daya.

"Aaaaaaaaakkkksssss. Aku memang bukan siapa-siapa mama papa. Tapi 20 tahun berlalu, tidakkah menjadi bukti bahwa kalian dan aku adalah manusia yang memiliki ikatan takdir untuk saling menyayangi dan merasa saling memiliki sebagai keluarga tanpa sekat dan jeda. Mah, Pa. Dengan tak menuruti permintaan yang ini tegakah kalian melihatku akan menjadi gelandangan di tengah susah manusia mencari penghidupan apalagi aku masih berstatus mahasiswi dan belum punya penghasilan yang memadai. Bagaimana kuliahku Mah, Pa. Orang tua asliku pun sudah tak peduli padaku. Hiks

Beri aku waktu untuk menenangkan hati agar mampu memilih dengan jernih dan tak ada sesal di kemudian hari. Ah, bagaimanapun aku pasti akan mampu menentang arang dunia. Bukankah rezeki sudah terpatri dalam suratan lauhul mahfudz bagi setiap hamba yang bernyawa dan mau berusaha. Bahwa jalan keluar pasti akan terbentang bagi jiwa yang bertakwa. Hiks ... hiks ...." Sedu sedan batinnya mengoyak sesiapa yang tahu.

Namun nyatanya tak ada seorangpun yang tahu. Karena gerutu batin dan protes hanya ia gertakkan dalam percakapan dengan air mata dan jiwanya sendiri.

"Sebentar lagi kuliah masuk di semester baru, sementara biaya kuliah yang berjuta-juta harus dibayarkan sebelum liburan berakhir. Mama papa tak ada sama sekali menyinggung hal itu. Aku pun tak memiliki uang lebih. Kemana akan kucari? Sementara kuliahku bagaimanapun caranya harus terus berlanjut!" Zahra semakin tak karuan

"Ah, cengeng sekali kau Zahra. Baru masalah sekecil ini saja sudah membuat kau risau bukan kepalang. Dimana nurani dan imanmu hah?! Marah ia pada diri sendiri

Isak tangis bathin yang dalam membuat matanya sembab dan merah. Tisu putih menjadi saksi tak surut-surut air sungai yang keluar dari matanya.

"Kapan kau datang kesini, menemui mama papa dan meyakinkan mereka bahwa kau mampu membahagianku, Irham. Tidak adakah nurani lelakimu melindungi dan membawaku pergi bersama hingga tak ada sekat dan jarak antara kita saling memiliki dan memberi cap sah pada rasa yang sudah tajam dititipi."

"Kapan kau akan datang dan memberiku kepastian? Kapan kau tak hanya pandai berkata dan membuatku terpana namun juga mampu membuktikan pengorbanan cintamu, Irham? Atau kau tak usah kembali? Atau aku yang harus mengikhlaskan? Atau dustakah cinta yang selalu kau sesumbarkan?!" Kemelut batin Zahra menimbulkan ribuan teriakan.

***

Di belahan bumi lain, Irham sang sedang sibuk menyelesaikan target menguasai ilmu yang sangat disukainya. Ia sedang berusaha keras, untuk bisa mahir memahami ilmu takhassus dan filsafat secara bersamaan. Bukan hanya itu, Irham juga telah memiliki rencana meski tak pernah ia utarakan pada Zahra; bahwa setelah selesai ia belajar, akan segera datang pada keluarga Zahra untuk meminangnya.

Meskipun, ia belum bekerja dan memiliki penghasilan tetap. Ia tetap berkeyakinan dan optimis bahwa ia mampu bertanggung jawab pada Zahra. Selama ia bekerja keras dan mau berusaha."

Jarak antara lombok dan Jakarta. Dekat namun memiliki dinding yang tinggi luar biasa diantara mereka berdua; Zahra dan Irham.

Keduanya sama-sama saling mencinta. Sama-sama saling mengharapkan dan menaruh harapan. Namun, tak bisa saling berbagi kabar karena tuntutan keadaan.

Ponsel pun sudah seperti rumah sepi tak berpenghuni; mereka sangat jarang berkirim asa dan kabar. Hanya pada doa yang terselip pada waktu-waktu syahdu di setiap helaan nafas yang masih ada.

"Aku akan fokus pada belajar dan targetku, dan tunggu aku menjemputmu; Zahra," Gumam Irham menguatkan tekad menghibur kerinduan yang menyesakkan pada gadis berparas ayu nan manis lugu.

Wanita yang akan menjadi sangat periang dan memabukkan cinta bukan kepalang saat berada disampingnya.

Pun akan menjadi wanita yang sangat lugu, cerdas, bijak, dewasa, berwibawa dan dapat diandalkan saat bekerja sama.

Nyaman dan tenang bahagia luar biasa saat Irham berada di dekat Zahra.

Dua tahun bekerja sama dalam satu wadah organisasi semasa SMA-nya dahulu, telah menimbulkan harapan dan kenangan yang membekas dan sulit dihilangkan.

Tak banyak mereka bercakap bersama, hanya sesekali ketika kesempatan ada itu pun saat ada keperluan organisasi.

Kelebat senyum ceria Zahra, tetap saja masih sering mengganggu otak Irham meski mereka sudah lama tidak bertemu dan tidak berkomunikasi via apapun.

Kriiikkkk ... kriiikkk

"Ah, aku lelah melihat dan melihat kisah cinta kalian berdua. Hei Zahra, Irham!" Cemberut jangkrik di sisi pintu kamar rapi Irham.

***

Zahra berusaha mengakhiri tangis heningnya, saat satu pesan masuk di ponselnya.

Klik.

"Kak, aku mimisan terus udah dua hari ini. Kepala juga kleyengan sampai nggak ikut ujian sekolah. Aku belum bilang papa mama soal ini takut mereka sedih dan khawatir. Aku mesti gimana, Kak? Sakit di tubuhku entah kenapa makin menjadi." Zahra kaget bukan kepalang

Satu pesan berhasil ia baca di tengah jeda dan isak.

"Innalillah, Dik. Aku segera beritahu papa mama ya," jawab Zahra tanpa pikir panjang

"Pah, Mah ... " Zahra berteriak memanggil penghuni rumah. Ia berlari meninggalkan kamar berdinding hijau dan buku biru yang tergeletak rapi kembali

Belum sempat ia bicara. Ponsel Mamah berisik sekali menandakan telpon masuk berkali-kali dari tadi.

Kring ... kring ............

"Mah, ada telpon," Teriak Papa dari kamar.

Telpon Mamah berbunyi di kamar, sementara Mamahnya sedang mencuci piring di dapur.

"Iya, Pah. Bentar."

Bergegas Mamah mengambil ponsel, dering khas lagu kesukaan Mamah 'Muhasabah Cinta' berhenti saat telpon diangkat.

"Hallo, Assalamualaikum ..."

"Mah, Adek sakit. Pusing sama keluar mimisan terus. Udah periksa ke dokter katanya kurang hemoglobin. Tapi, kata dokternya suruh periksa lagi aja ke rumah sakit di Bandung. Jemput Adek ya, Mah." Kata Sulis tanpa basa-basi.

"Innalillah ... Dek, Syafakillah. Iya, Mama sama Papa  kesana sekarang."

Perjalanan Sumedang-Ciamis terasa semakin lama, selain jalanan padat merayap. Keadaan hati tak karuan pun menjadikan semakin sesak perjalanan yang ditempuh.

5 Jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di pondok, menemui Sulis dan akan membawanya ke rumah sakit di Bandung.

Di perjalanan dari mobil ke asrama putri. Teriak histeris putri-putri terdengar.

Mamahnya segera melihat kejadian.

"Sulis pingsan, Mah. Darahnya keluar terus. Tadi juga, setelah selesai sholat ashar dan setoran hafalan quran. Ia mengeluh sakit sampai-sampai tak sadarkan diri." Sambut seorang guru dengan sigap.

Mengetahui mobil Bapaknya sudah datang, Sulis yang lemah menahan sakit segera dibopong teman-temannya menuju mobil.

Tanpa ba bi bu. Teman-teman pun guru-guru, dengan segera menyiapkan Sulis untuk di bawa ke rumah sakit.

Kembali. Perjalanan Ciamis - Bandung.

Seorang supir, Mamah dan Bapaknya dengan ditemani seorang guru. Sulis di bawa menuju Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.

Darah terus keluar dari hidung. Papa yang duduk di sampingnya terus mengusap dan membersihkan darah dengan kain khusus. Kain sepanjang tiga meter dan lebar setengah meter itu, hampir penuh dipenuhi darah mimisannya.

Sulis sadarkan diri.

Sementara Mama, tak tega melihat Sulis yang  tegar menahan sakit  luar biasa. Sambil terus merafal doa dengan lembut terucap dari bibir Mama.

"Bu, Pak. Sebenarnya Sulis mengidap leukimia stadium 4. Dan baru kami ketahui kemarin, saat periksa ke dokter." Ujar gurunya memberi tahu dengan halus hati-hati

Padahal sebelumnya, ia tak pernah terlihat memiliki sakit yang parah. Kepribadian yang periang, dan sangat semangat belajar. Menyenangkan dan tak pernah memiliki masalah dengan teman-temannya.

"Innalillah, Nak. Kuat ya, Nak. Kita akan obati penyakitmu, Nak."

"Mah, nanti kalau ketemu teman-teman sampaikan maaf Sulis ya. Kalau Sulis punya salah." Suara Sulis memelas, dan setelah itu ia mengerang kesakitan luar biasa."

"Mah, Pah. Sakit." Ia berusaha meredam sakit sambil terus menenangkan diri.

"Pah, biar Sulis aja yang bersihin darahnya. Jangan Papah

Papahnya tak kuasa mengelak. Ia biarkan tangan mungil Sulis mengusap darah yang terus mengucur.

Hening, Sulis tak bersuara. Rupanya itu usapan terakhir pada darah mimisan di hidung yang terus keluar.

Mamah, Bapak, dan gurunya tak kuasa menahan tangis.

Gurunya segera memberi perintah pada Pak supir untuk pulang ke rumah di Sumedang.

***

Zahra, ia begitu tegar. Tampak matanya sembab dan merah. Saat melihat adik kesayangannya tengah tak bernyawa. Ia ikut memandikan, mengafani, menyolati, dan bahkan begitu kuat mengantarkan adiknya hingga ke peristirahatan terakhir.

Para petugas pemakaman, sudah usai menggali dan jenazah Sulis pun hendak dikebumikan.

Dipimpin oleh seorang Ustadz dan sesepuh di desa itu, doa-doa dipanjatkan semoga kebahagiaan syurga di dapatkan Sulis di alami keabadian.

Tiba-tiba ponsel Zahra berbunyi. Nomor tak di kenal.

"Halo, Mbak. Saya Firman temannya Bang Chandra. Istrinya, Ishita. Meninggal dunia, saat mengalami pendarahan di rumah sakit."

"Innalillahi ..... Mah, Pak ... "

Zahra lemas, dan tak kuasa menahan tangis. Air matanya meleleh, ia meluncur ke pelukan Mamahnya.

Remang-remang ia tatap layar ponsel di tangan, lemas bukan kepalang ia bersandar di pelukan mama yang sama tengah menguatkan diri menerima takdir kehidupan.

***

Sulis telah pergi, Abangnya telah kehilangan istri. Kepada siapa lagi aku akan bercerita keluh kesah? Sulis ... semoga kau tenang di alam sana, Dik.

***

Sementara di kampung kelahirannya, Banjar. Ibunya masih saja belum berdamai dengan Bapaknya. Mereka telah resmi bercerai, karena sosok mantan pacar Ibunya waktu masih sekolah kembali hadir dan menarik ia kembali.

"Berikan hak asuh Zahra padaku, dia sekarang sudah besar biarkan dia tinggal denganku. Mana bisa dia hidup bahagia dengan lelaki tak berpenghasilan dan tak punya tanggung jawab sepertimu?"

"Tak akan kubiarkan ia tinggal denganmu. Aku lebih rela, Zahra bersama Ua-nya daripada denganmu. Perempuan macam apa kau? Kerjanya selingkuh dan hura-hura. Mau kau apakan anakku yang cantik dan baik itu hah?"

Assalamualaikum ...

Salam teriring doa, semoga berkenan. Insyaallah, besok aku akan datang ke rumahmu mengutarakan niat suci yang selama ini aku pendam dan harapkan; melamar dan akan meminangmu.

Wass ...

Ramdan.

Pesan singkat dan padat. Namun, badannya sudah tak berdaya untuk mengungkapkan jawaban.

Entah rafal doa apa yang keluar dari mulut Zahra.

***

Satu persatu para pelayat pergi meninggalkan pekuburan. Semoga Sulis tenang di alam keabadian dalam rahmat dan ampunan. Harapan semua insan.

Meski berat, Zahra mama dan papanya pun beranjak meninggalkan peristirahatan terakhir Sulis. Setelah menaburkan bunga dan mencium nisan.

Dengan langkah gontai, mata sembab, mereka saling bergandengan satu sama lain. Mama terlihat sangat tegar, pun papa kembali menunjukkan wibawa dan iman. Bahwa semua pasti akan kembali kepada-Nya.

Sementara Abangnya Ramdan, masih di perjalanan dari Jakarta.

Tak apa asalkan doa tak pernah putus dipanjatkan untuk kebahagiaan mereka berdua; Ishita dan Sulis.

Klik dering pesan di ponsel Zahra kembali berbunyi. Kali ini dari nomor yang tak di kenal.

Ia buka perlahan.

"Salam ... kami dari  Fakultas Ekonomi --- Akuntansi memberitahukan bahwa : Ananda Zahra telah lolos tes beasiswa cerdas, dan berhak menerima beasiswa full selama kuliah sampai dengan selesai. Untuk info lebih lanjut, silahkan hubungi prodi fakultas anda.

Terima kasih.

***

Hidup, mati, jodoh, dan rezeki sudah Allah aturkan.

Mari gantungan harapan, hanya pada pemilik harapan hakiki yang tiada pernah berikan kebohongan pada setiap kalam-Nya.

Selasa, 10 Januari 2017

Ia.

Ada yang begitu intens, menanyakan kabar dan keadaan. Menanyakan masak apa dan makan dengan apa.

Ada yang perlu dibantu ?
Atau sekadar siap mendengar keluh ataupun gelisah.
Genggaman tanggung jawabnya begitu kuat mengikat.

Aku akan dimarahi besar, jika melakukan hal yang ceroboh dan mengganggu keselamatan diri.
Pun akan sangat dikhawatirkan luar biasa kala hendak pergi jauh dari jangkauan mata dan tangannya.

Untuk setiap uji, ia selalu berusaha menawarkan solusi meski dirinya tengah tertatih berdiri.

Karena waktu begitu berharga, kebersamaan adalah permata. Okeh, ia akan rela semalaman suntuk mendengar curhatanku. Memberikan saran dan nasihat untukku. Memberikan luang dari pengap pemikiran dangkalku.

Ia adalah sosok gagah, penuh wibawa. Di bahunya, ia kekar menantang masa demi keluarga yang terik mengiba ; aku wanita, dan membutuhkan perlindunganmu, lelaki hebat di hidupku.

Ia adalah sendu dalam kehebatan memperjuangkan. Mungkin, di malam dan sendirinya ia menangis memikirkan dan mengkhawatirkan kita - yang tengah melanjutkan kehidupan dengan mimpi dan cita yang membumbung tinggi di atas kepala demi bahagia diri dan mereka berbahagia hakiki.

Tatapan matanya memelas. Aku membaca aura. Ia berdiri di samping jalanan raya itu. Seraya mengantarkanku akan pergi menaiki bis menuju sebuah kota.

"Hati-hati jaga diri, kamu wanita. Jangan sok-sok.an kemana kemari seenaknya sendiri. Mentang-mentang berani. Kalau ada apa-apa bilang, kasih kabar. Dengerin pahamin, ini penting. Yah?"Matanya mendelik memastikan aku mendengar semua perkataan dan titahnya.

"Iiyaaa ..." Jawabku singkat dengan wajah sembab yang kuat kusembunyikan dibalik manis senyum yang coba kuhadirkan.

Ia lelaki hebat, yang darinya aku belajar memahami bahwa di pundak lelaki tersurat sebuah amanah besar yang harus kita pahami.

Ia adalah Kakak lelaki kami.

***

Ah, tak perlu baper ataupun cengeng dan merasa paling sendiri karena tak punya pacar ataupun belum memiliki pasangan halal.

Toh, kita memiliki mereka yang selalu mensupport kita dalam kebaikan.

Sudahlah, mari kita sibuk kan diri dengan perbaikan dan istiqamahkan nggak pacaran sampai halal. *eh kok jadi kesini yaaa 😁

Alhamdulillah, intinya mari kita syukuri dan belajar ikuti aturan-Nya. Sama-sama sedang belajar.

Karang Tengah, 10 Januari 2017