Senin, 30 Januari 2017

Memar Pada Rongga Dada

Hari ini aku ditampar telak oleh seorang lelaki dengan usia dibawahku. Jujur saja, aku sering meremehkannya. Tak mempedulikannya. Menganggapnya nakal dan tak cocok berbicara denganku yang cenderung idealis dalam segala hal.

Gila! Manusia macam apa aku ini. Sombong dan tak punya hati kok nggak ketulungan!

Samar-samar aku dengar telpon berdering dengan nada yang cukup asing. Karena tak biasanya, ada yang menghubungi ke nomor ini. Sehubungan nomor ponsel ada dua, dan yang satu ini memang jarang digunakan.

Hmmm ...

Kutengok ponsel dan tertera nama kontaknya memanggil.

"Ah dia, untuk apa dia menelponku. Tak biasanya," Gumamku dalam bathin.

"Halo ... Assalamu'alaikum ..."

Terdengar sapa dari seberang. Lama aku tak mengeluarkan suara. Meneliti apa yang akan dia ucapkan.

"Wa'alaikumsalam ... Iya, ada apa?!" Jawabku ketus.

Nadanya terdengar bijak. Suara berbalut wibawa itu menggema di telinga.

"Hmm ... ada apa nih anak?! Kagak biasa begini, nelpon. Sok perhatian banget. Biasanya juga cuek aja." Aku masih terheran-heran sambil berdiri  memegang ponsel yang masih menunggu kelanjutan pembicaraan.

"Sehat toh? Gimana Mas Rifai sudah ada telpon belum?"

"Sehat, kok. Hm emang ada apa Mas Rifai?"

"Itu kan dia. Udah gue suruh buat anterin Lu, Mbak. Lu mau berangkat kuliah ke Yogya kan. Gua nggak tega lah biarin lu pergi sendirian. Berhubung gue nggak bisa nganterin, karena lagi sibuk kerja. Gue minta tolong dia, buat nganterin lu sampe ke pintu kos dan memastikan kalau lu baik-baik aja nggak kurang suatu apapun."

"Hhhh ... " Aku melongo.

Seingatku, aku tak pernah bercerita padanya tentang rencana keberangkatanku ke Yogya kali ini. Dari mana dia tahu?

"Oh iya, itu udah gue transfer uang buat kuliah. Kalau masih kurang bilang, jangan diem aja!"

Hah ... Darimana dia tahu, kalau masih ada kekurangan biaya transport dan kuliahku.

"Eh iya iya, makasih. Emang kamu sekarang kerja dimana?" Kali pertama aku melontarkan pertanyaan entah sebagai wujud perhatian atau penasaran.

"Sekarang gue kerja di perusahaan tambang di Malaysia. Lu yang semangat kuliahnya. Jangan sampe putus. Kalau butuh apa-apa bilang. Dengerin nih! Jangan dipendem sendiri aja! Awas, jaga diri. Belajar yang bener disana."

" Ehhh ... Iya iya ... kamu juga hati-hati disana. Jaga kesehatan. Jangan lupa sholat. Tenang, gue pasti bilang kok kalo ada apa-apa."

" Okay, take care lo disana. Kalau udah nyampe yogya nya bilang yaa ..."

"Okay ..."

" Yaudah, Assalamu'alaikum ..."

" hhh Waalaikum salam ..." Aku tergagap menjawab salam dengan pikiran yang masih terheran-heran.

Ponsel ditutup. Selesai.

Segera ku cek riwayat pesan.

Seminggu lalu, aku menghubungi ayahku yang masih kerja di Lampung. Untuk segera pulang, dan meminta bantuannya pindahan dan meminta kekurangan uang biaya kuliah yang cukup tinggi awal semester ini.

Tapi, aku cek lagi. Ternyata tak ada balasan sama sekali.

Sedih, kecewa telak memenuhi rongga dadaku. Ingin menangis, tak ada sama sekali wujud perhatian dan rela berkorban untukku sebagai anaknya yang tengah berjuang menggapai cita-cita. Berkuliah di universitas ternama di yogya.

Sementara dia, adik lelakiku yang sudah lama tak ku hubungi, aku asingkan dari  sudut hati. Dia sosok gunung es, beku. Dingin. Anak nakal. Tak cukup egoku meruntuhkan kalimat sekedar sapa padanya. Ia telah aku abaikan ribuan waktu lamanya.

Dan ia hadir, seolah memberi harapan dan lautan emas empati siap menyumbangkan pertolongan terbaik untuk mewujudkan cita-cita yang sudah sangat lama aku impikan.

Yah, ia lebih muda dariku beberapa tahun. Namun, rupanya otak dewasanya lebih baja menghancurkan rintangan hingga ia sampai pada pekerjaannya sekarang.

Huh ... Ternyata dewasa bukanlah soalan usia. Bukanlah soalan pendidikan tinggi. Bahkan ia yang hanya kuliah strata satu pun tak sampai lulus namun mampu membuktikan hebat dan empatinya.

Aku tak tahu bagaimana ia sampai di kemapanannya sekarang, bagaimana perjuangannya, karena yang aku ingat terakhir kali bertemu adalah dia sosok pembangkang dan tak punya belas kasih.

"Kau sudah berubah, Dik! Aku yang buta!

2 komentar:

Silahkan berkomentar dan mari berdiskusi sehat. Terima kasih ... :)