Rabu, 12 April 2017

Permata Bumi di Era Modernisasi

Hari ini aku tertegun lara. Duduk di sebuah pelataran mesjid, dengan kipas angin yang menyala. Menyegarkan ruang otak yang sempat sesak, lalu terbuka bersama kulit yang berderak; riang bernafas ria.

Hmm  ... Ibu? Mamah? Bunda?
Sebuah kata yang menunjuk pada sosok tak biasa. Tempat bermain kata dan mengangkasa, dalam ruang hangat bernama  "Ibu".

***
Senang sekali berdiskusi dengan mereka, setidaknya menurutku entah menurut mereka, hehe. Dalam sosok yang terbalut jilbab anggun nan rapi, aku sering menumpahkan kata, memuaskan hasrat bicara, hasrat penasaran, dan rasa ingin tahuku yang tinggi. Alhasil, akan banyak tanya terungkap, banyak diskusi bahkan berdebat sehat. Aku selalu suka momen itu, saat kita mengerahkan intelegensi, mengumpulkan fakta dan cerita inspirasi, lalu membuat kesimpulan yang tak terprediksi; sebuah hikmah yang bernilai tinggi.

Yah, Ibu. Sosok anggun nan cerdas dalam bingkai seorang istri yang patut diteladani.
Yah, Ia adalah sosok Mamah. Berperawakan tinggi, cantik, penuh estetis, berbalut kelembutan nan kesabaran tingkat tinggi.
Yah, mereka sosok-sosok perempuan berjiwa luhur. Bahkan semut pun tak pernah mau kabur, bila berdekatan dengan mereka yang berbudi luhur. Mereka permata dalam krisis modernisasi dan globalisasi. Mereka, penyangga bagi arwah yang masih ada dan bersama.

Beberapa puluh tahun silam, aku adalah sosok yang tak mengerti apa itu Ibu, apa itu anak, apa itu ayah, apa itu istri, apa itu Kakak, apa itu adik, apa itu saudara. Aku tenggelam dalam makna yang belum terlaksana. Karena yang kutahu hanya, rumah adalah tempat paling indah untuk pulang selepas main dan melepas lelah setelah seharian berkeliling tamasya diantara sawah-sawah dan udara hijau yang berhamburan. Dan, disana ada mereka. Tempat berkeluh kesah, bermanja ria, bertengkar parah, tertawa sumringah, lalu menangis mastah.

Hingga satu persatu jiwa itu tumbuh, ada yang pergi dan tak kembali. Ada yang datang dan menemukan pengganti. Atau mengisi kekosongan pada sanubari. Hanya satu, hati tak pernah memilih pergi dan lupa diri. Ia senantiasa ingat setiap momen yang sudah terpatri dalam ruang hati yang tertata rapi.

Aku, menjelma menjadi sosok dewasa yang kelimpungan mencari selasar makna dan jati diri. Tak usah kau tahu, bagaimana aku kalap dibuat marah! Tak usah kau tahu aku tertawa gila menahan kata terserah! Tak usah kau tahu bagaimana aku berlari terengah-engah menemukan sosok berhati peri pada jiwa-jiwa asing yang baru ditemui!

***
Di sudut kota, di sebuah ruang tersendiri. Aku menemukan senyum itu. Ia, seolah hadir untuk membasuh luka yang pernah ada, mengobatinya, lalu menggantikannya dengan hati yang baru, yang sudah diperbaharui. Aku menemukan sosok-sosok berjiwa peri itu, di pelosok-pelosok bumi perjuangan.

Tak ada lagi takut. Karena mereka menantang berani. Tak ada lagi kalut, karena mereka adalah hangat yang berselimut. Selamat datang, penghuni bumi! Kami masih ada untuk diri yang belum ditemui, meski sempat terasing karena tertutup diri yang berkawan besi; terkungkung dalam sendiri dan menyepi. Padahal kami ada, dan akan ikhlas senantiasa menemani. Tak usah kau risaukan diri, manusia berjiwa peri masih ada meski sempat menghilang pergi. Kembali bereinkarnasi, pada manusia berjiwa misteri.

Mah, engkau adalah permata. Darimu aku mengenal hidup. Ibu, engkau adalah lembut diantara kasarnya kerikil-kerikil bumi. Bunda, engkau adalah api yang menempa diriku menjadi baja dan mutiara bermahar tinggi.

Untuk jiwa yang sudah pergi, Ia hilang dari bumi namun akan kembali kutemui. Di sebuah istana berlautkan sungai-sungai seri. Batita, balita, remaja, dewasa, lalu menua. Sepenggalan kisah hidup, memaksaku mengikuti alur angin yang sudah tertulis di alam suci.

Aku menemukan sosok-sosok itu, perempuan berhati peri. Pada senyum tulus yang diberi, pada pengorbanan wanita yang tak terperi. Pada sosok kecil yang menawarkan bantuan.

"Kakak, sini aku bantu bawa barang-barangnya. Kasihan Kakak." Lelaki kecil itu menawarkan tulus bantuannya dengan senang hati.

Dan aku tahu, itu pasti jelmaan dari sikap dan didikan mewah darimu, Ibu Peri.

Atau aku menemukanmu pada siswa-siswi yang rajin mengaji, belajar bela diri, bahkan berwirausaha sedari dini. Engkau pasti sedang mengajarkan kemandirian pada prajurit-prajurit kecil, penerus kehidupan dan pemulia diri.

Ternyata, aku tak sendiri mencarimu. Ada tangan-tangan Tuhan yang menuntunku kepadamu. Bertemu reinkarnasi jiwa hidupmu. Lalu bertemu, mencumbu kisah hidup baru yang penuh dinamika seru.

Ada tangan-tangan Tuhan yang menuntunku, Mah. Engkau permata, akan selalu kucari serpihan-serpihan indahmu yang terserak pada jiwa-jiwa di muka bumi. Lalu, nanti aku akan menemuimu. Menghantarkan senyumku padamu.

Dengan tenang engkau akan berkata, "Aku berbahagia telah dan pernah berjuang melahirkanmu, Nak."

*Dari anakmu, gadis yang akan berusia 22 tahun beberapa waktu lagi.
*Semoga engkau berbahagia atas kehadiranku di penjuru bumi.

12 komentar:

  1. Subhanallah,mbak fit tambah keren euy.
    Bentar lagi ultah ya? Cieee

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ... Mbak Anik juga. *dudu smg semakin baik dr hari ke hari tulisannya. Bener" berharap bgt kayak gitu, Mbak. Hehe

      Iyaa masih beberapa bulan lagi kok. 😁

      Hapus
  2. Ku ingin,
    Menghirup udara yang kau hirup.
    Melangkah,
    Di tempatmu melangkah.
    Berteduh,
    Di tempatmu berteduh.
    Dan terlelap di atas pangkuanmu.

    Ibu…
    Ku hanya ingin selalu bersamamu.
    sepanjang waktuku…

    BalasHapus
  3. Mbak Fitri makin keren tulisannya. Tetap semangat ya 😊

    Postingannya dalam banget maknanya. Nulisnya pasti dari hati 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih bunda. Siap ... Tetap saling menyemangati kita ya, Bunda. πŸ˜™

      Kwkwk semoga bermanfaat ya bun tulisannya😊

      Hapus

Silahkan berkomentar dan mari berdiskusi sehat. Terima kasih ... :)