Minggu, 02 April 2017

Tangisan dan Pelukan

Kepulangan kemarin adalah kepulangan paling baper. Tepat setelah sholat shubuh, aku bergegas menyiapkan berbagai keperluan untuk kembali ke tanah rantau. Dari mulai pakaian, makanan, juga perbekalan.

Seorang gadis dengan memakai dress biru dongker kesayangan, dengan padanan garis biru langit di lengan dan bawah baju. Wara-wiri dari rumah Teteh lalu ke rumah Ua, yang jaraknya lumayan dekat. Ya, gadis itu adalah aku.

Setelah meminta persetujuan, akhirnya aku akan diantar oleh Kakak ipar menggunakan motor matic kesayangan Teteh guruku ke rumah saudara sebelum ke terminal bis. Dus-dus terikat tali rapi. Tas gendong coklat dan tas selendang siap menemani perjalanan.

Teteh tertuaku datang dari seberang jalan, ia memberikan perbekalan nasi dan lauk-pauk -"supaya nggak usah beli dan aneh-aneh makannya." Katanya

"Teh, pulang ya. Teteh sekeluarga sehat-sehat disini." Aku menyalami tangannya, memeluknya lalu Ia menciumi kedua pipiku denga rapal doa dan nasihat yang ia ramu sehingga terdengar begitu syahdu -dalam menurutku.

Ya, aku memiliki empat orang Kakak. Satu persatu kusalami. Juga tetangga dekat yang sudah seperti keluarga.

Tiba, aku sudah tak bisa menahan isak tangis. Beban di dada serasa memaksa menyeruak keluar. Ia membuncah dalam tangisan sedu sedan, kala aku memeluk Kakak perempuanku yang baru saja menikah. Dan sedang menjadi pengantin baru yang bahagia dan romantis-romantisnya.

"Ah, senang sekali melihatmu sudah memiliki pendamping sholih, Teh. Setidaknya aku lebih tenang, ketika pergi meninggalkanmu merantau." Bathinku melayang.

Tak ada kata. Hanya isak tangis yang terdengar dari mulutku. Merasakan bathin begitu sesak, aku sedikit tau kenapa alasan tangisku begitu dalam seperti itu. Jatuh dalam pelukan Kakak terbaikku ini. Menangis. Dan menikmati setiap waktu, tetes air mata.

Kau tahu, ada rindu yang akan kukubur dalam. Aku bukanlah sosok yang akan panjang lebar bercerita tentang beban pikiran, tekanan pekerjaan, ataupun problema hidup perkuliahan, pekerjaan, dan balada anak rantau dengan senang hati.  Just to share my smile, dan akhirnya meledak juga dalam bahasa tangisan.

"Kenapa nangis sih, ih malu ..." Ucap Teteh meledekku.

Namun, aku masih saja terisak memeluknya erat. "Aku akan merindukanmu, Teh. Aku akan merindukanmu. Aku wanita kuat kan, Teh. Aku akan kuat dan menghebat sepertimu. Meski entah bagaimana kehidupan keras mendidikku. Aku kuat, Teh. Dan hanya ingin menemukan suplemen kekuatan dalam pelukan erat dan tangisan di hadapanmu ini." Terjemahan dari bahasa tangis senduku pada lidah yang tetap kelu.

Ia pun hangat membiarkan jilbab merahnya basah oleh airmata. "Udah ya, aku pamit." Aku segera duduk disamping A Mail yang sudah sedari tadi siap mengendarai motornya mengantarkanku.

Ku tatap sekeliling halaman rumah Ua, Ada Ibu guru cantik, Bu Tita . Tetangga asyik  -Yesi Puspitasari. Dua Kakak hebatku -Teh Erna dan Teh Ika. Mereka mengantarkan kepergianku di teras depan rumah. Mengerling mata satu persatu, sambil membathin. "Semoga Allah selalu menjaga kalian ya."

"Assalamualaikum  ..." Ucapku sambil berlalu diatas motor yang sudah melaju.

Tak ada percakapan antara aku dan Kakak iparku. Aku kelu untuk sekedar berkata. Tak kuat menahan tangis, sesak dari bathin yang terus menyeruak menjadi butiran air mata yang mengalir deras. Mungkin di depan, A Mail bingung untuk menenangkan, mendengar sesenggukanku yang tak kunjung berhenti.

Sepatah dua patah kata, akhirnya bisa kuutarakan -melawan tangis- menemani perjalanan ia mengantarkanku hingga sampai di tempat tujuan.

"Berhenti disini, A." Ujarku sambil menunjuk rumah bercat hijau dan pagar biru. Aku lalu turun dan berlari memasuki rumah, ku temukan De Ozil  -si baby lucu dan gantengnya nggak ketulungan- sedang asyik bermain sepeda ditemani sang Ayah yang notabene juga saudara terdekatku dari Bapak.

Sementara A Mail menurunkan barang bawaanku dari motor, lalu kembali ke rumah. Mataku mengekori kepergiannya. "Jaga Teteh ya, A. Perempuan paling berharga yang aku punya."

Kamu tahu mungkin, sebagai seorang adik ada sedikit kecemburuan dalam bathinku ketika Tetehku sudah menikah. Perhatian dan waktunya untukku pasti akan berbeda, karena ia akan memiliki kehidupan baru, keluarga baru, dan tentunya kewajiban baru -berkhidmat pada suami tersebut cinta. Ah, selamat berbahagia, Teh, A. Semoga pernikahan ini menjadi gerbang segala kebaikan bagi kalian berdua di dunia dan akhirat.

Deru motornya sudah berlalu, kala aku kembali   kedalam rumah. Meminta keponakan sepupu gantengku -Yudhi Maulana Shiddiq- melanjutkan mengantarkanku sampai terminal Bis Banjar. Sementara ia bersiap, aku pamit dan menyalami A Ade (Dia keponakan Bapak) dan juga istrinya. Mereka adalah keluarga terbaik yang aku punya. Kepedulian dan kasih sayang mereka tak pernah pandang bulu.

Entah bagaimana caranya, air mataku ternyata tak mau cepat berhenti mengalir. Ia mengucur deras kembali dengan isak tangisku yang tak bisa disembunyikan.

"Pulang ya, A."

"Iya, hati-hati. Semangat kuliah dan kerjanya. Sehat, lancar, jaga diri."

Aku berdiri mematung. Sambil menutupi muka -mengusap tangis. A Ade mungkin mengerti batinku. Ia memelukku, mengusap kepala sambil merapal nasihat-nasihat ajaib penguat bathin yang sedang lemah oleh tempaan kenyataan kehidupan. Aku bersandar di dadanya. Tangisku semakin menderu. Tak ada kata, untuk sekedar menjelaskan gambaran rasa apa yang menyebabkan tangis buncah kembali.

"Berangkat, semangat, Aa yakin Fitri mah bisa. Mandiri, kuat, apapun yang dihadapi. Sebesar apapun ombak, Fitri adalah karang yang kuat di tepi lautan. Menantang hebat ombak menyerbu." Nasihat yang kuterjemahkan, penguatan, dan pemberian semangat yang sangat sedang aku butuhkan.

Berada di samping seorang lelaki kekar, kuat, dan bertanggungjawab seperti dia. Bersandar di tubuhnya yang kuat dan tenang. Benar-benar menyuntikkan kekuatan pada bathin. Rapal nasihatnya, adalah nutrisi pengusir pilu pelebur semangat juang. Seperti pengganti pelukan, seorang ayah yang entah dimana bisa aku dapatkan. Karena, beliau yang sibuk dengan keluarga barunya. Seperti nyanyian rindu nasihat dan kasih sayang murni seorang Ibu yang entah bisa aku dapatkan darimana. Karena, dimensi yang telah berbeda.

Terkadang, hanya dengan seperti ini. Bersandar di pelukan. Mengeluarkan isak tangis -gumpalan seluruh emosi negatif. Segala gelisah, putus asa, tak kuasa, pasrah, rasa ingin menyerah, rasa tak kuat, sedih, ingin berontak, dan ujung-ujungnya menguatkan diri ikhlas mencintai kenyataan hidup yang indah menempakku menjadi mutiara diantara bebatuan dan karang.

Hanya seperti ini saja, sebetulnya. Merasa bahwa aku tak sendiri menanggung kehidupan ini. Tempat berbagi sekedar suka ataupun duka. Mengerti tangis dan membiarkan lidah mengucap perhatian dan nasihat.

Atau kalian punya, saudara perempuan. Jadilah, pendengar dan sahabat yang baik untuknya. Ia tak butuh kamu membawakan bantuan macam-macam untuk keperluannya. Ia sebetulnya wanita kuat mandiri melakukan semua itu.

Namun, terkadang mereka hanya butuh untuk sekedar merasa bahwa mereka tak sendiri. Peluklah mereka sebagai ungkapan sayang persaudaraan. Biarkanlah isak tangis mereka mengeluarkan segala buncahan emosi negatif yang kadang menerpa jiwa mereka. Dengarkan dan jadilah pendengar, sahabat berbagi terbaik untuknya.

Betapa dengan pelukan dan tangisan, bisa melapangkan emosi karatan yang menyelubungi sukma seorang wanita.

Aku berhenti menangis, lalu pergi diantar kekuatan seorang laki-laki hebat di balik perawakannya yang tinggi kekar namun penyayang. Ia adalah laki-laki yang lebih peduli, melebihi  seorang Bapak sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dan mari berdiskusi sehat. Terima kasih ... :)