Senin, 10 April 2017

Diskusi Rasa

Akan ada masa, terulang kembali. Saat hati tak lagi kelimpungan resah. Saat bathin tak lagi merasakan sesak penantian. Saat bibir tak lagi kelu dan malu-malu mengucap rasa. Saat aku tak usah bebal menahan cemburu dan tanya yang memburu.

Ya, aku percaya dan yakin akan ada masa, saat hal itu akan terulang kembali. Disampingmu. Menemuimu kembali. Menatap wajah sayupmu. Dan bersandar di bahu nyamanmu.

Kamu tahu? Aku pernah kelimpungan luar biasa mencarimu diantara sesak manusia yang masuk ke bis kota itu.

Kamu dimana? Kenapa tak kunjung kulihat muka?

Aku meraih ponsel hendak menghubungi nomor ajaibmu. Setelah beberapa menit berlalu saat engkau menghubungiku, dan berjanji akan menaiki bis yang sama sambil menanyakan nomor flat bis yang kududuki.

Hatiku berdebar tak karuan saat itu. Piluku hilang sejenak berganti bunga harapan yang mekar diantara rimbun mawar merekah. Ah, andai saja kamu melihat?

Niscaya senyumku tak akan terungkap. Merah merona pada pipi, akan kusembunyikan rapat-rapat, bahkan pada angin saja tak akan kuungkap. Bibir yang tak henti merapal syukur dan senyum bahagia tak terkira. Aku bagai anak kecil berlari kegirangan mendapat kebahagiaan luar biasa.

Dear, ini adalah waktumu untuk kembali. Lama nian kita tak jumpa. Lama nian kita tak bersua. Lama nian aku berteka-teki rasa. Aku menyangka kau pun sama denganku. Sama-sama menanti, lalu saling merindui. Dan bercakap dalam bahasa diam paling ajaib. Cuma angin dan aku yang tahu. Bahkan cuma kau dan langit yang tahu.

Aku tak tahu menahu tentangmu. Aku kehilangan berita. Aku kehilangan arah dan nakhoda. Kau seolah menjauh. Aku merasa berdarah. Padahal mungkin tidak?!

Entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Di belahan bumi sana, mungkin kau tetap sama. Sama-sama menjaga satu nama, dan mencinta dalam diam yang tak biasa.

Entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Aku merasa kau jauh dan asing. Aku merasa tidak mengenalimu, kecuali setetes air celupan tangan diantara lautan megah. Semenjak kau memutuskan melanjutkan mimpimu di tempat baru.

Entahlah, jangan kau hiraukan daku. Mungkin ini hanya perasaan lemahku saja. Usah kau hiraukan. Meski aku berharap, akan ada waktu dimana kita tak usah berteka-teki lagi. Engkau mengenaliku seutuh tulus yang kau tenun dalam senyum yang mengusap jiwaku.

Dear, kapan terakhir kali kita berdiskusi berbagai macam tema dan problema sambil tertawa renyah menikmati kehangatan hadirnya jiwa satu sama lain. Aku menyerbumu dengan berbagai curahan kata. Kemanjaanku buat kau pusing tujuh keliling. Hingga kau tak sadar sedang ada dalam pelukan sang angin. Saking merasa ringannya jiwamu berada didekatku.

Dear, kapan terakhir kali kau memburuku cepat-cepat agar aku tak ketinggalan bis tua kesayangan, sebelum Bapak kondektur memarahiku lebih tajam. Ah, paling-paling kita akan saling berpaling lalu kembali saling bertatap lalu tertawa ... Hahahha

Setelah, Bapak kondektur itu pergi dan usai menunaikan amarahnya karena keleletanku beberapa menit memasuki pintu. Itu adalah momen, saat aku merasa kita tak ada beda. Kau dan aku benar-benar sama dan satu asa. Saling berkaitan jiwa, hingga tak lagi ada lupa. Kau siapa dan aku siapa. Kau darimana dan aku berasal dari keturunan apa. Semua sekat itu lebur tak terkubur. Hilang terbang diantara udara alam yang luas.

Ah, aku tak peduli kau anak siapa. Aku tak peduli, seidealis dan seperfect apa keluarga dan kehidupanmu. Aku tak peduli, aku akan dicerca macam apa saat, kau menjemputku dengan berani mengajakku bertemu Ibu dan Bapak di rumah sejukmu.

Detik ini, jujur saja. Ribuan jarak dan waktu telah kita lalui dalam sekat tanpa kebersamaan. Kita tak lagi saling mendengarkan suara pelipur lara. Bahkan aku sering sesak karena bertanya-tanya pada sang asa. Kabarmu bagaimana? Sedang apa? Dimana? Dan dengan siapa?

Rasa malu dan gengsiku untuk bertanya, sekedar mengalahkan ego rupanya membungkam semua gejolak rasa penasaran dan perhatian terpendamku padamu.

Aku sedih. Aku tertawa bahagia. Aku sepi. Aku terserak dalam angkasa. Aku merintih, memanggil namamu lalu pergi berlari sekencang tenaga mencarimu yang entah dimana. Bahkan kau tak ada janji menemuiku lebih lama, saat kita berpapasan bahagia saat gaun merahku menghiasi pertemuan kita di pertamuan sampai gerbang rumah itu.

Aku melihatmu, dear. Meski hanya sekejap mata. Karena keinginanku untuk berbicara lebih lama dan bersenda gurau lebih tertata, kalah oleh rasa malu dan takutku. Namun, aku berhasil merekam ragamu saat itu.

Kau mengenakan kemeja rapi dan senada. Tampak wibawa, sungguh wibawa dan membuatku bertambah suka dengan senyum malu-malu sambil menyodorkan sebongkah bungkusan kado yang tak kutahu isinya apa.

Ah, aku segera berlalu sebelum kau sempat berpamit rasa. Hari itu adalah hari pertemuan dan pertamuan sampai gerbang muka. Karena aku belum berani mengenalkanmu pada Ibu dan Bapak.

Hari ini, aku terlalu durjana untuk sekedar bersalam sapa. Untuk sekedar membalas rasa lewat pesan aksara yang kau rangkai diantara maya dan media massa.

Engkau di belahan dunia selatan sana. Dan aku berada di bumi utara. Sampai kapankah aku harus terus berteka-teki rasa? Kita adalah dua manusia lugu yang sama-sama saling menunggu.

Aku merindukan saat-saat dimana kita bersama. Berjalan beriringan, lalu saling menggenggam asa tanpa ada sekat yang terasa. Kau dan aku sama. Sama-sama saling menjaga dan merasa suka dan bahagia.

Aku merindukan saat-saat itu. Saat hati tak lagi pilu karena menunggu. Saat darah selalu menghangat karena lengkap dan sempurna. Ya, bersamamu. Berada disampingmu. Tak usah banyak kata dan bermedia sosial ria. Cukup engkau dan aku. Sama-sama tahu dan saling memulia. Kita bersama dan dunia sempurna.

"Jangan kau buka mata. Biarkan aku menatap wajahmu, untuk menebus saat-saat aku kehilanganmu."

Kau adalah dingin saat aku panas membara. Kau adalah hangat saat aku kedinginan menggigil sudah tak berupa. Kau adalah penyempurna.

Detik ini, aku di cerca berbagai macam prasangka. Sama seperti dulu, semua prasangka yang menghujam duka. Tapi, ternyata sembuh dengan sempurna. Saat aku dan kau menjadi kita. Dalam balutan senyum yang berwujud mutiara -permata-.

Ya, kau adalah permata. Semoga aku bisa menjadi permata bahagiamu, bersama di dunia lalu mengabadi di alam sana.

Kau tahu? Aku merindukanmu, lebih dari yang kau tahu!

Kapan kita berdiskusi, bercanda, dan bercengkrama asa dan rasa tanpa sekat tanpa ada nada serak.

Aku menunggumu. Dan sepertinya kita membutuhkan waktu untuk nge-teh bersama. 💚 Semoga engkau membaca curahan rasa tidak biasa dari  perempuan sederhana, ini.💚

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dan mari berdiskusi sehat. Terima kasih ... :)