Rabu, 30 Agustus 2017

Perempuan Yang Berdialog Dengan Tuhan

Sembilu pagi mengantarkanku pada pertemuan sunyi
Apa kabarmu?
Eh iya, aku sudah mengenal namamu tapi tak satupun petunjuk darimu yang mampu menuntunku mengenal lebih jauh di sudut jiwa

Selamat pagi sembilu
Aku nanar dan remang tak berarah
Kakiku kaku melangkah derap
Lidahku kelu mengucap irama

Hingga, perempuan itu hadir
Menarik palung jiwa hingga ke dasar
Kemudian dihempaskan sekuatnya

Ia ...
Perempuan yang tak jemu berdialog dengan Tuhannya
Aku memandangi dari balik udara bersekatkan nafas penasaran

Khusyuk ...
Sesuatu yang tak mampu kugambarkan
Namun, dinginnya mampu menusuk bathin
Wajahnya sayup namun bercahaya

Ia, perempuan yang pandai mengeja doa
Dalam setiap pinta yang lirih ia dengungkan
Di setiap sujud dan ruku pada pemilik alam

Aku serasa ditampar hingga darah tak bersisa
Cahaya yang ia tebarkan kala berdialog dengan Tuhannya
Kenapa begitu membuatku sesak

Kapan terakhir kali aku merenda waktu bersama kekhusyukan mendekati-Nya?
Kapan terakhir kali aku menenun tengadah tangan bersama tunduk seorang abdi yang mencintai-Nya?
Kapan terakhir kali aku setenang itu duduk bercengkrama dengan Tuhan?
Kapan terakhir kali aku begitu asyik berbincang riang dengan-Nya?
Kapan terakhir kali aku berdialog dengan Tuhan?

Ah, perempuan itu begitu indah dan tenang bersahaja dalam balutan jilbabnya yang sederhana
Cantik, terpancar dari wajah hatinya yang bercahaya
Hingga mampu menyentuh sisi batinku
Ia mempesona dalam balutan senyum keanggunannya

Ia, perempuan yang berdialog dengan Tuhan
Saban hari tak pernah jemu
Ah, entah berapa cahaya yang sudah ia raup selama kebersamaannya yang tak terganggu dengan kasih sayang Pemilik Sang hamba ...

Ia, perempuan yang berdialog dengan Tuhan
Saban hari tak pernah jemu
Ia cantik dengan pancaran cahaya teduhnya yang tak biasa ...

Aku iri padamu, hei yang dicemburui para bidadari ...
Alam kelembutanmu menyentuh sisi nuraniku, dalam ...

Rabu, 09 Agustus 2017

Dia cinta pertamaku.

Hari ini adalah hari pernikahanku. Hari bahagia yang sangat kunantikan sampai detak jantung pun tak karuan. Tepat di sebelahku, tengah berdiri seorang lelaki gagah nan penuh wibawa memakai setelan pengantin laki-laki dengan tubuh yang tinggi semampai serta bahu kekar. Dada bidang dan senyum damainya tengah ia tebarkan dengan tulus pada setiap tamu yang datang.

Sesekali senyum kami bertemu menahan haru dan malu.

Dan kau tahu? Aku adalah perempuan paling bahagia di dunia. Bagaimana tidak? Ia adalah lelaki sempurna yang berani meminangku tanpa mengajak pacaran berlama-lama. Dengan kesiapan dan keseriusannya, ia memintaku pada bapak dan Ibu agar bersedia menjadi istrinya tak hanya sebatas di dunia tapi juga di hari yang dijanjikan nanti. Sungguh saat itu tak ada alasan untuk aku menolak pinangannya.

Aduhai, perempuan manakah yang tak melayang hatinya. Mendapati laki-laki pemberani dan berkharisma datang dengan segenap kesungguhan hati menanggung hidup dan berjanji akan membahagiakanku. Dengan segala kemapanan materi dan kehebatannya sebagai seorang laki-laki.

Ya, itu adalah aku. Nuri Jannatul Firdaus, perempuan paling bahagia, istri dari seorang pria berperawakan cukup atletis, berlesung pipit, dan pemilik senyum manis nan mendamaikan.

Kata-kata sampai tak cukup mampu untuk mengungkapkan betapa bahagianya aku saat itu. Ia seorang laki-laki yang sungguh mampu membuatku berdebar tergila-gila kagum dan damai pada saat yang bersamaan.

***

Semua bermula saat aku telah lulus kuliah dan menjadi mahasiswi terbaik dari sebuah fakultas ekonomi perguruan tinggi negeri dengan predikat cum laude. Lelaki itu datang, memintaku pada Ibu dan Bapak. Dan aku, dengan senang hati tanpa ada satu alasan pun untuk menolak pinangannya.

Ya, ia adalah lelaki beruntung itu. Mendapatkan penerimaanku dengan mudah. Ia adalah cinta pertamaku.

Waktu berlalu memberikan kesegaran pada alur hidupku yang baru. Bunga-bunga indah itu seolah sedang bermekaran di dalam rumah tanggaku yang baru seumur jagung.

Ah, hidup begitu luar biasa memberiku hadiah tak terkira. Aku perempuan paling bahagia di dunia. Di lahirkan dari keluarga penuh kasih sayang dan berada. Semua keinginan dan kebutuhanku terpenuhi dengan baik. Ditambah lagi, sekarang aku telah menikah dengan Mas Firman. Cinta terbaik yang pernah ada. Dan keluarganya pun sangat menyayangiku. Aku adalah menantu kesayangan mereka.

Coba kamu jadi aku? Hidupku sungguh nyaris sempurna dan membahagiakan.

***

Selang satu tahun pernikahan, Alhamdulillah kami sudah dikaruniai seorang bayi mungil nan cantik. Humaira namanya. Ia menjadi perekat cinta antara aku dan Mas Firman.

Kami yang sama-sama bekerja di sebuah perusahaan besar. Hanya bisa menemani Maira sepenuhnya pada hari libur, Sabtu dan Minggu. Selebihnya orang tua dan mertua kami dengan senang hati menjaga Humaira untuk kami.

Aku dan Mas Firman terkadang berangkat dan pulang kerja bersama. Sebentar namun menjadi momen berharga melepas kerinduan dan cintaku padanya. Sepanjang jam kerja di kantor, pikiranku tak lepas dari Mas Firman dan Humaira. Mereka benar-benar energi hidupku. Terlebih Mas Firman ia adalah cinta terbaik yang aku miliki.

Meski, aku seorang istri yang manja senang merajuk dan cenderung bawel saat bersamanya. Ia adalah lelaki paling sabar dan berkharisma yang pernah ada. Sandaran hidup dan cinta pertamaku.

Hingga suatu hari, saat istirahat jam makan siang. Aku tak sengaja melihatnya sedang bergandengan mesra dengan seorang wanita cantik berperawakan tinggi semampai.

Ah, tak mungkin itu suamiku. Hiburku dalam hati.

Jarak kantor kami memang lumayan dekat. Jadi, saat jam istirahat kami kadang janjian untuk sekedar makan siang bersama.

Tapi, tidak hari itu. Mas bahkan tidak memberiku kabar atau ucapan manis lewat sebuah pesan sebelum kerja dimulai. Atau ungkapan rindu saat jam istirahat siang mulai menjelang.

Aku pun berniat memberinya surprise, dengan datang ke tempat makan biasa kami. Namun, tak sesuai harapan. Ia tak juga kunjung datang. Di detik-detik akhir aku akan kembali ke kantor, justru aku melihatnya bersama seorang perempuan.

***

"Mas Firman!" Aku berlari menghampirinya.

Ia terlihat kaget dan melepas gandengan tangan sang perempuan.

"Ini sama siapa, Mas?"

Dia masih membisu dan seperti kalang kabut.

"Aku pacar sekaligus calon istrinya, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?"

Duarrr ... petir besar seolah menyambar hatiku. Aku tak kuasa menahan isak. Tanpa kata tanpa sapa. Mereka berdua berjalan meninggalkanku.

Sepulang kerja. Aku langsung menyambutnya dengan pertanyaan bertubi-tubi.

"Mas tadi itu siapa? Nggak benar kan yang dia katakan Mas?"

"Huh ..." Ia tampak mengatur nafas untuk bicara.

"Ya, dia benar. Dia adalah pacar dan sekaligus calon isteriku. Berhentilah bersikap manis dan manja. Aku tak tertarik denganmu lagi."

"Lalu, apa salahku Mas? Kita sudah punya anak! Kurang apa aku Mas? Bukankah rumah tangga kita bahagia?"

"Nggak ada ... kamu nggak kurang apa-apa. Aku cuma sudah nggak mau sama kamu lagi." Ucapnya sembari bersiap membersihkan diri.

***

Semenjak saat itu. Duniaku terasa gelap. Bumi runtuh seketika. Pertengkaran demi pertengkaran selalu saja terjadi. Tak ada kekerasan fisik yang dia lakukan padaku.

Tapi kata-kata dan tatapan tajamnya seringkali membuatku merasa terhina dan tak lagi berharga sebagai seorang perempuan.

Pernah, bahkan berkali-kali aku sampai berniat untuk bunuh diri. Seperti wanita yang hidup tapi linglung tak jelas arah. Bahkan bayiku pun sampai berkali-kali masuk rumah sakit gara-gara bawaan sang Ibu yang stress tak berkesudahan.

Coba kamu jadi aku? Gimana rasanya diperlakukan hina dan dikhianati oleh lelaki yang sekaligus cinta pertamamu. Aku tak pernah berpacaran dengan siapapun sebelumnya. Seratus persen cintaku, sandaranku adalah dirinya. Aku benar-benar melabuhkan hati sejatuh-jatuhnya pada dia. Bahkan tak sempat memiliki pegangan lain. Aku sudah terlalu percaya padanya.

***

Berbulan lamanya aku di dera konflik bathin. Hingga kami resmi bercerai. Dan perasaan sayang itu masih saja ada untuknya.

Kini, ia sudah pergi entah kemana. Membawa sekeping hati yang sempat ia lukis begitu indah sehingga membentuk bahagia begitu indah. Dan olehnya pulalah, sekeping hati itu dihancurkan tak tersisa.

Perlahan keadaan jiwaku mulai membaik. Aku mulai mau bersosialisasi lagi dengan lingkungan dan keluarga setelah sebelumnya mengurung diri. Mengasingkan diri dari hiruk pikuk bumi.

Ditambah, sekarang aku mulai aktif di pengajian bersama teman-teman muslimah seperjuangan. Bersama mereka aku menemukan kembali kepingan bahagia yang sempat hancur. Sedikit demi sedikit aku mulai menyadari, bahwa mencintai tak boleh berlebihan meski itu pada pasangan kita.

Dulu, aku benar-benar menyandarkan segala cinta dan cita, percaya dan setia hanya padanya.

Cukup, mencintai sekadarnya. Dan menyiapkan ruang di hati untuk ditinggalkan entah itu karena kematian ataupun hal lain yang sungguh sebetulnya tidak kita inginkan.

Namun, itulah hidup. Ingin bahagia dan tenang? Sandarkanlah cinta terbaikmu pada Allah.

Ya, sepertinya Allah cemburu padaku. Dan menginginkanku menyadarinya sebelum terlalu jauh dan terlambat.

Tangerang, 13 Agustus 2017.