Jumat, 15 September 2017

Hari Ini Ia Menangis. Dan Sudahlah Cukup!

Hari ini aku tertawa lepas bersamanya. Bahkan tawa itu sungguh lepas, sebebas melepaskan segala kegelisahan yang menumpuk pada dada. Aku tertawa melihatnya, melihat mereka. Ah, indahnya nikmat kehidupan ketika aku diberi kesempatan membersamai mereka.

Melihat senyum teduh di paras mereka, candaan renyah tanpa beban yang terlontar dari mulut mungil yang menebarkan keceriaan pada setiap penjuru dan sudut lalu lalang hidup kami. Ah, melihat kalian rukun dan rajin, bekerja sama dan saling menolong, bahkan saling menjahili satu sama lain tanpa ada yang merasa terdiskriminasi. Sungguh itu kebahagiaanku yang hakiki.

Melihat kalian, bahagia. Dengan senyuman lalu candaan. Dengan perhatian lalu kecintaan. Hingga suatu hari, aku sungguh terharu. Mereka sedang bercerita tentang pelajaran yang beberapa waktu kemarin kusampaikan.

Sebagai sesama teman, mereka menceritakannya dengan asyik lalu tersenyum bangga. "Kata Ibu guru, kemarin begini ... begini ... dan begitu. Kenapa ini seperti ini dan itu seperti itu ..." lalu senyum sumringah tampil mempesona di wajah mereka.

Allah ... terima kasih. Ternyata mereka mendengarkanku dengan baik. Menyerap apa yang aku sampaikan dengan sangat senang dan detail.

Pernah suatu waktu aku bertanya, "nanti kalau kalian sudah besar mau jadi apa?"

"Ah, aku mah mau jadi kayak Ibu aja. Ibu begini dan begini."

Allahu ... terima kasih. Bahkan di tengah gelapnya aku sedang merasa kerdil pada dunia. Mereka bahkan mau menjadi sepertiku. Perempuan yang sesungguhnya masih harus sangat banyak belajar. Sungguh, terkadang aku merasa menjadi perempuan yang tidak berguna. Hanya sedikit yang baru aku beri. Namun, aku sudah menerima kebaikan yang sangat banyak. Lalu, bagaimana aku tidak harus banyak bersyukur dan bermuhasabah diri?

Merasa kerdil dan makhluk tak tahu diri macam apakah aku ini?

Kebahagiaan mereka yang terpancar kala mengeluarkan kalimat-kalimat manis, ceria, dan tanpa dosa itu ... Sungguh membuatku haru.

Allahu ... terima kasih. Semoga aku bisa bersyukur dan memberi lebih banyak mulai dari sekarang. Ya, memberi kebahagiaan, kebaikan, kecintaan, dan segala hal yang mendatangkan keridhaan dan ketenangan.

Hari ini, aku melewati tangga sambil memegang ponsel. Di seberang sana suara yang membuat aku selalu tenang dan rindu tengah berbicara. Ah, bait-bait bicaranya adalah cinta dan sabar yang tak terperi.

Hingga, gadis itu berteriak dan terus mendesakku.

"Ibu ... ayo ... telpon Mama aku, bu!"

"Iya, Nak. Sebentar. Ibu sedang menggunakan ponselnya."

"Ayooo, Ibu. Cepetan," mukanya semakin memaksa semakin sendu.

"Iya, Nak. Ibu telpon Mama ya."

Beberapa kali aku chat dan telpon. Tak kunjung juga ada jawaban. Namun, gadis yang kini sudah duduk di sampingku di pelataran sekolah itu sudah terisak tak tertahan.

"Aku mau ketemu Mama, Bu. Aku mau ketemu Mama. Ayo, telpon Mama terus, Bu."

"Iya, Nak. Ibu sudah berkali-kali telpon dari tadi tapi tak juga ada jawaban. Sudah Ibu infokan sejak sebelum pulang dan beliau sudah konfirmasi mau jemput kamu."

"Aku mau Mama, Bu. Ayooo ... nanti kalau aku sudah pulang ke rumah nggak bisa ketemu Mama lagi, Bu," Ia mengusap air matanya yang semakin deras dengan mata yang semakin memerah. Ujung jilbab putihnya kini sudah basah dikucuri air yang turun dengan tulus itu.

Ya, belakangan ku ketahui kalau Mama dan Bapaknya sudah tak serumah. Ia beserta adik-adiknya ikut bersama Bapak mereka dan tidak diperbolehkan bertemu Mamanya. Entah sebab apa, aku tak tahu.

Yang aku tahu, gadis itu tulus dengan rengekan dan kerinduannya. Yang aku tahu, ia adalah masih seorang gadis kecil yang sungguh rindu menikmati setiap hari dijemput dan disambut oleh Mamanya kala pulang sekolah ataupun bercanda renyah di rumah.

Yang aku tahu, senyum di bibirnya kini menahan kegetiran. Orang tua mereka kini, sudah tak menyatu lagi. Tak utuh dan rapuh. Dan ia belum sanggup untuk luluh, ia tetap saja seorang gadis kecil yang rindu akan belai dan peluk lembut tangan halus seorang Ibu.

"Bu, aku pengen ketemu Mama, Bu," Isak tangis dan rengekan polosnya sungguh tajam menghujam bathinku dalam.

Oh Allah ... sebegitu rumitkah menjadi orang dewasa. Hingga aku masih tak habis pikir bagaimana tega seorang Ibu harus pisahkan  paksa dari anak kesayangannya.

Oh Allah ... sebegitu rumitkah menjadi orang dewasa ... Hingga pelangi-pelangi kecil yang selalu mampu membuat hidup jadi lebih hidup dan berwarna itu harus dikorbankan. Bahkan mereka tak berdosa. Mereka hanya anak-anak yang memiliki hak untuk selalu disayangi, diperhatikan, diberikan kehidupan dan pendidikan terbaik dari orang tua dan sekeliling kehidupannya.

Oh ... Allah ... hati teriris mendengar isak tangis harapnya. Bagaimanakah cinta yang asalnya bisa menyatukan lalu dengan nista memisahkan?

Segala cinta ada pada genggaman-Mu. Maka genggamlah hati kami dalam pengabdian dan cinta kepada-Mu,  Ya Rabbi  ...

Gadis-gadis dan lelaki-lelaki polos nan lucu itu adalah pelangiku. Aku percaya mereka adalah pelangi masa depan yang cerah. Mereka makhluk-makhluk optimis, tulus, penyayang, dan berkemauan keras dalam belajar.

Peluk cinta dari aku yang aku sebut, Ibu di sekolahmu, Nak. Semoga aku bisa lebih banyak memberi untuk semesta hingga pemilik semesta meridhai dan suka akan saat kembaliku kelak.

*Tulisan di gambar adalah hasil tulis tangan mereka beberapa waktu lalu. They said, "I love U." ❤ "I love u too, Nak." 💙

4 komentar:

Silahkan berkomentar dan mari berdiskusi sehat. Terima kasih ... :)