Pohon kipas, setidaknya itulah yang aku ingat. Pohon yang aku ingat ada dan menjadi bagian masa kecilku.
Letaknya berderet laiknya petani yang menanam sayuran dengan berbaris rapi. Persis, di depan rumahku. Rumah sederhana dengan pekarangan yang cukup luas, berisikan pohon pisang, aneka rerumputan dan bunga-bunga melati aneka warni.
Ah, aku senang bermain-main disana. Berlari-lari riang sambil bernyanyi suara khas anak kecil.
"Mah, aku mau ngambil daun kipas yah buat main."seruku pada Mamah.
"Iya, boleh. Ambil sana anakku sayang."Sahut Mamah seraya keluar dari dapur menuju putri kecilnya yang tengah asyik bermain bersama teman-temannya di ruangan tengah rumahnya.
Horreeeee, kita boleh ambil dan memetik daun kipasnya.
Boleh yang banyak ya, Mah. Kan teman-temanku banyak. Nanti kita biar bisa jadi putri kipas. Punya banyak daun kipas. Kita bisa bermain sepuasnya. Horreeee ....
"Ayo, Izza Icha kita ambil daun kipasnya sekarang."
"Ayooo .... "Teriak mereka kegirangan.
Pohon kipas tingginya setinggi orang dewasa, di batangnya yang mungil terdapat seperti kulit halus yang membungkus berwarna hitam jarang.
"Nak, mainnya tidak jauh-jauh ya. Di taman pekarangan rumah saja. Itu main kipas sama timbul daun pacar boleh."Seru Mamahnya Ufit dari dalam dapur.
Rupanya, Mamahnya sedang memasak untuk makan sore keluarganya. Beliau sedang berjibaku dengan tungku api dan pernak-pernik dapur sederhana lainnya.
"Iya, Mah. Ufit ga jauh-jauh ko mainnya disini."Jawab Ufit, anak bungsu Mamah yang sedang manja-manjanya di usianya yang masih kurang lima tahun.
Mamah Ufit sambil memandang riang anak-anaknya bermain di taman pekarangan rumah dari bilik dapur yang sudah mulai menghitam akibat asap dari tungku api.
Ah, senangnya melihat mereka bermain dan bahagia seperti itu.
"Tumbuhlah menjadi anak sholehah ya, Nak. Ufit yang cerdas dan penuh riang."Gumam Mamahnya dalam hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dan mari berdiskusi sehat. Terima kasih ... :)