Hari semakin sore. Namun, Wiwi masih saja termenung dalam pangkuan Bibinya. Kini ia tak lagi menangis menjerit-jerit seperti tadi saat berusaha mencegah Bapaknya pergi.
Mulutnya seolah terkunci. Yang ada hanyalah suara isak tangisnya yang belum berhenti. Pandangan matanya kosong. Mengikuti setiap aliran sungai di matanya yang sedikit demi sedikit mengalir namun begitu istiqomah menuruni pipi.
Matanya merah, sesekali menatap wajah Bibinya. Yang tengah berusaha memberikan pelukan sayang ternyaman untuknya. Agar ia tak lagi merasa kecewa dan sendiri.
Tak banyak kata yang mereka ucapkan. Mereka larut dalam senandung pikirannya masing-masing.
Masih begitu jelas semua di pelupuk matanya. Kejadian dua hari yang lalu. Saat Sang Ibu sedang di bawa di keranda jenazah bertutupkan kain hijau yang dibawa oleh empat lelaki gagah.
Aku tak begitu mengerti kala itu. Apa yang tengah terjadi. Hiruk pikuk manusia berkerumun memasuki rumahku. Melembut sunyi aksi sakratul maut dari Mamah. Tengah dibantu oleh Bapak yang begitu fokus kulihat. Entah sejenis lafal-lafal atau mantra apa yang diucapkan Bapak.
Dengan ilmu yang Bapak punya, setelah melanglang buana menuntut ilmu di pesantren. Ia duduk di samping Mamah. Ia, Bidadari syurgaku terbaring.
Raungan tangis para tetangga, meliputi suasana saat itu. Satu persatu anak-anaknya yang sudah dijemput mendadak dari sekolah berdatangan. Tak kuasa menahan air mata, melihat wanita mulia kesayangan mereka tengah meregang nyawa menahan sakit setelah selama ini ia bertarung dengan penyakit paru-parunya.
Tangan Bapak begitu tandas menyentuh perut Ibu. Dengan mata tertutup, ia terus berkomat-kamit dalam bathin.
Entah waktu itu, aku adalah seorang anak gadis yang masih suci. Sehingga aku melihat sekelebat cahaya putih, keluar dari mulut Ibuku. Saat ia tengah menghembuskan nafas terakhirnya.
Sekuat tenaga Bapak sudah berusaha membantu. Tapi, apa daya segala kekuatan dan takdir ada di tangan Allah. Allah memanggil Ibuku di usia 5 tahun.
Raungan tangis orang-orang semakin nyaring kudengar. Sementara aku dengan mataku masih saja lugu untuk memahami.
"Ibu, Pak ... Ibu ..."
"Ibu ..... " Teriakan duka begitu kencang dari Kak Rika. Ia Kakakku yang pertama.
Ritual kewajiban dari agama, satu persatu dilaksanakan untuk mengurusi jenazah suci Ibu. Dimandikan - dikafani - dan dishalatkan.
Setelah selesai ritual memandikan jenazah, aku di bawa entah oleh siapa saudara keluargaku. Ia membasuh mukaku dengan air yang tadi dipakai untuk memandikan jenazah Ibuku.
Suasana terasa begitu sendu, penuh dengan kesedihan dan pilu. Bahwa Ibu kami satu-satunya lebih dahulu meninggalkan kami keenam anak-anaknya.
Betapa duka yang mendalam, kurasakan dari raut-raut wajah dan isak tangis Kakak-Kakakku.
Betapa sosoknya takkan terganti. Kasih sayangnya, kesabarannya, damai dan teduh dari raut wajah dan tutur katanya. Syurga menantimu, Bu. Allah lebih merindukanmu.
Ah, iya adikku. Kemana ia ?
Aku tak ingat dimana ia waktu itu. Seorang bayi perempuan mungil yang baru berumur 14 hari. Tanpa sempat bertemu dan menatap wajah Sang Mama sebelum ia beranjak mengenal kata dan sosok wajah.
"Mamah .... " Tangis Kak Rika begitu pecah saat Mamah hendak dikebumikan di pemakaman desa kami yang jaraknya sekitar 30 M dari kediaman rumah.
Dengan memakai daster orange, ia meradang di jalan di dampingi tetangga yang peduli di samping kiri dan kanannya. Memegang erat tangannya.
"Mamah ... " Tangis pecah itu begitu fasih aku ingat. Hingga ia pingsan tak sadarkan diri.
Ah, tak kuat sepertinya ia. Melepas kepergian Mamah. Mamah tercintanya. Satu-satunya Ibunda tercintanya, yang begitu sabar mendampingi setiap fase kehidupannya sampai ia menikah dan memiliki seorang anak sekarang ini.
Setelah, pemakaman usai dan doa-doa di lafalkan dalam barisan jamaah para pelayat. Setiap malam rumah kami menjadi ramai dengan tahlilan dan yasinan, demi mengirim doa untuk meringankan setiap jalan yang akan Ibu tempuh di alam keabadian sana.
Malam beranjak, pagi pun tiba. Suara gemericik burung, sejuk embun menghiasi kabut dan pagiku di teras rumah. Memandangi sekeliling bekas-bekas bersejarah kehidupan dengan Mamah.
Lalu lalang orang desa yang hendak pergi ke sawah dan kebun mulai ramai melewati pekarangan rumahku. Memang jalanan rumah kami dekat sekali dengan jalan menuju kebun-kebun penduduk desa.
"Wii ... wiiii ... Kaaa. .. Kaa ... Rin ... Ren ... Hanan ...
Bapakmu pulang, tuh. Dia udah jalan mau kesini." Sahut Bi Engkom tetangga dekatku yang sudah dulu bertemu Bapak di jalan.
Ah, tak banyak pikir. Aku langsung saja berlari menyambut Bapakku. Menuruni jalanan berbatu yang cukup curam, sebelum sampai ke jalanan beraspal dimana Bapak berada.
Aku termenung melihat Bapak. Ia berjalan begitu cepat, seolah sedang meluapkan kemarahan. Tak ada sambutan manja yang biasa kuterima saat bertemu dengannya. Ia bahkan tak menatapku, gadis kecilnya. Setelah jarak kami begitu dekat. Ia terus saja berjalan.
"Memang apa yang ada di pikiran Bapakmu itu, Ka ... Wiii ... ? Tak habis pikir aku padanya." Sahut tetangga yang juga saudaraku. Bi Adah namanya. Raut geram dan kesal terpancar dari air mukanya. Ia berteriak dari dalam rumahnya yang aku lewati.
Entah cerita apa yang sudah ia dapat. Hingga begitu kesal bicaranya pada Bapak.
Aku yang sungguh masih polos waktu itu. Lantas berujar," Bapak ..."
Khas suara anak kecil memelas pada orang tua kesayangannya.
Tak ada sahutan. Ia terus saja beranjak melewati jalan bebatuan itu.
*To be continued
Ditunggu lanjutannya
BalasHapusHihi iya Mbak Wid 🙈
HapusTerima kasih sudah singgah 😘