Hujan terus mengguyur kota Indramayu setelah dzuhur tadi. Semakin deras hingga jalanan Penuh dengan genangan air hujan. Pohon-pohon pun ikut goyah, terkena angin. Lalu lalang kendaraan di jalanan semakin menderu menerobos hujan di sertai guntur itu.
Deras, irama lebat air seolah menjadi nyanyian merdu di telinga setiap manusia penghuni kota mangga ini.
"Ikut ... aku mau ikut ..." Teriakan keras anak kecil memecah hujan, ia berlari dari dalam rumah.
Semakin ia berlari, semakin keras ia berteriak ingin ikut. Semakin keras pula, genggaman tangan sang Bibi menahan gadis berusia 5 tahun itu.
"Bapak ... aku mau ikut. Bapak jangan pergi. Ikut Pak. Ikut." Suaranya semakin nyaring berlomba dengan kuatnya suara hujan.
Jalanan seolah menjadi saksi.
"Jangan ikut ya, Nak. Nanti Bapak pulang lagi kok." Sahut sang Bapak mengelus rambut anak itu tanpa turun dari motornya yang ia hentikan di pinggir jalan sambil lalu melaju menuju tujuannya yang entah kemana anak itu tak tahu.
Yang ia tahu, ia hanya ingin ikut dengan Bapak semata wayangnya. Bapak yang begitu dekat dengannya. Tempat ia bermanja dan bercerita segala rasa. Tempat ia berpangku, kala Bapaknya tengah dzikir sehabis sholat. Ia duduk di pangkuannya menikmati Tenang nya dzikir.
Tapi kini, ia benar-benar kecewa. Bapak yang selama ini ia kagumi, ia hormati tanpa pernah terbersit kekecewaan padanya. Tega akan pergi meninggalkannya.
Setelah selang dua hari saja. Kekosongan itu masih ada. Ibu nya baru pergi meninggalkannya, menghadap keharibaan-Nya. Ada rasa hampa yang sulit ia terka rasa semacam apa itu.
Kini, Bapaknya entah akan pergi kemana.
Anak itu kembali berlari. Berusaha mengejar motor hitam yang dipakai sang Bapak. Ia sekuat tenaga menerobos hujan. Sekuat tenaga memanggil sang Bapak agar kembali.
Namun, Bibi nya dari belakang terus saja mencegahnya.
"Sudah, Nak. Ayo ikut sama Bibi."
"Nggak mau, Bi. Aku mau ikut Bapak. Ikut Bapak, Bi. Ikut."
Seolah sama-sama mengeluarkan tenaga terbaiknya. Sang Bibi terus saja mencegah keponakannya yang terus menangis dan ingin mengejar sang Bapak. Keponakannya pun terus saja menangis dan berteriak memanggil sang Bapak.
"Aku mau ikut Bapak, Bi. Kenapa Bapak pergi, Bi. Aku mau ikut, Bapak." Suaranya melemah dan tubuhnya mendarat di pelukan Bibi nya. Tenaganya sudah melemah akibat berteriak dan terus menangis. Kini ia, di peluk sang Bibi yang terus coba menenangkannya. Mencoba menggantikan posisi sang Ibu yang telah pergi untuk selamanya. Mencoba membuatnya lupa akan sang Bapak yang tengah pergi.
Anak itu kini tengah terisak, menahan sisa pedih ketidakpercayaan. Menyandarkan diri di pangkuan Sang Bibi. Bapaknya pergi tanpa mengajaknya. Ia pergi entah kemana. Di tengah deru hujan deras kota kelahiran. Bapaknya pergi entah kemana.
"Dwi pengen ikut Bapak, Bi."
Hiks hiks ...
*to be continued ...
Lanjuut
BalasHapus