Sabtu, 04 Februari 2017

Sekat Api Cemburu

Mentari menyibakkan sinarnya pada peraduanku. Seorang gadis yang tengah berdiri seorang diri. Bersama angin sejuk yang menerpa jilbab biru langit kesayangan.

Di puncak, berkelingkan pucuk-pucuk hijau diantara dedaunan dan pepohonan yang rindang. Dengan dingin yang menusuk sampai ke ulu. Disini, di sebuah ruangan vila. Aku menerawang dari balik jendela yang bersih seolah tak ada sekat antara kaca dan dunia di luar sana. Hamparan pemandangan yang menjernihkan bathin; bentangan keindahan bumi yang sejuk.

Di sudut terpencil sebuah kota, yang jauh dari hiruk pikuk bising kota metropolitan. Aku berusaha memenangkan diri.

Kala itu, tepat pukul dua belas malam waktu indonesia bagian barat. Aku terbangun dari tidur, entah karena apa. Aku merasa pusing dan linglung. Mungkin karena kekurangan cairan atau pengaruh obat yang kuminum sebelum tidur. Aku segera meraih air minum yang terletak di meja samping tempat tidur.

"Hmmm ... pesan dari siapa itu malam-malam seperti ini?" aku yang tengah sibuk menelan air minum ke kerongkongan terhenti saat melihat ponsel menyala tanda pesan masuk.

Perlahan, aku menyelesaikan minumku. Demi memastikan seluruh rongga di kerongkongan terisi air, agar tak kekeringan. Kau tahu lah, baru-baru ini aku habis diserang sakit sebulan lamanya. Hanya gara-gara hal kecil menurutku, telat makan dan kurang minum.

Untuk itu aku harus menjaga dan memastikan, tubuhku tak kurang suatu apapun. Agar ia bisa bekerja dengan prima dan sehat tanpa kalah terserang sakit lagi. Aku harus begitu konsen, menjaga setiap asupan energi pada tubuh agar ia seimbang menjalankan fungsi-fungsinya. Ya, salah satunya dengan minum air yang cukup ini.

Aku tak mau kecolongan lagi. Karena sakit, aku kehilangan momen-momen berharga bersama rekan kerja, keluarga, dan kawan-kawan kampus. Karena sakit, aku harus menghabiskan banyak biaya untuk proses pengobatan. Dan karena sakit pula, aku malah merepotkan keluarga karena harus mengurusiku sampai sembuh. Kau tahulah sakitku lumayan parah, hingga hanya terbaring di tempat tidur dan hanya mampu sedikit melakukan gerakan. Dan aku tak mau kecolongan lagi.

Meskipun, aku bersyukur dan menyadari bahwa dari sakit aku diajarkan untuk lebih bersyukur dan tidak lagi mendzolimi diri sendiri. Karena  bersyukur atas pemberian Allah, maka aku harus menjaga pemberian-Nya itu dengan sebaik mungkin saat ini. Pikirku penuh semangat kala itu.

Selesai memastikan tubuhku tak kekurangan cairan sedikitpun. Lantas, aku meraih ponsel dan membuka pesan yang diterima beberapa menit lalu.

Prrrkkk ...

Ponselku jatuh tak berdaya. Aku limbung. Menjaga keseimbangan tubuh agar tak ikut terjatuh. Aku melipir ke sisi tempat tidur. Menahan gemeretak jari, mengepal mencoba menetralkan sakit pada bathin, pilu.

Aku tak percaya terhadap apa yang barusan kulihat. Seorang teman karib pacarku, mengirimkan sebuah foto berdua; seorang gadis dan dia, ia dia pacarku.

"Hei, Ra. Nih gue kirimin foto pacar lo lagi asyik maen sama cewek barunya." Pesan singkat disertai gambar bagai petir yang menyambar atap bathinku.

Di gambar itu nampak ia tersenyum bahagia tanpa merasa dosa. Di sebuah perkumpulan acara, dan mereka hanya berfoto berdua --- dengan gadis itu.

"Hhh ... dasar gadis kecentilan, ataukah kamu yang tega, dear?" Bathinku sedih.

Bahkan ia tak menjaga jarak, begitu santai saja tersenyum manis tanpa merasa dosa bahwa ada aku perempuannya yang akan merasa sakit kala melihat kalian seperti itu.

Coba kamu jadi aku? Gimana rasanya melihat orang yang kita sayangi, lebih dekat dengan perempuan lain saat aku tak ada disampingnya. Saat aku sedang berjuang seorang diri di kota orang, menjaga perasaan dan hubungan kita, menepiskan semua pria yang datang hanya demi kamu.

Kita adalah sepasang kekasih yang berada diantara sekat jarak. Ya, aku memang jauh darinya. Ia punya kesibukan dan urusan sendiri di tempat tinggalnya sekarang.

Pun aku, berada jauh dari jangkauan bahkan untuk sekedar bertemu.

Lalu? Apakah dengan alasan itu. Kamu bisa begitu tega, membiarkan gadismu ini tersayat-sayat menahan tangis dan perih melihat perempuan lain lebih akrab dan lebih dekat denganmu.

Bahkan kamu tak bercerita apapun tentang perempuan itu. Sebuah gambar yang menceritakan banyak hal, dear!

Perempuan macam apa kau ini? Tega berdekatan dengan pacarku tanpa merasa risih.
Hei, kau! Laki-laki apa kau ini? Tega membiarkan aku tersayat cemburu, melihat kedekatanmu dengan perempuan lain. Bahkan untuk sekedar menjaga hati perempuanmu saja kau tak becus!

Aku limbung. Ingin sekali teriak memaki tingkah mereka berdua.

Ternyata, tak hanya satu gambar. Aku segera membuka media sosial si cewek kurang ajar itu. Beberapa jam yang lalu, ia baru saja mengupload foto-foto kebersamaannya dengan lelakiku.

Tak hanya satu, dan bahkan di banyak acara pun mereka sering tampil berdua. Aku semakin geram akibat rasa penasaranku menelusuri setiap jengkal gambar yang ia upload di media sosial.

"Oh, Tuhan. Tak hanya satu. Ini banyak. Lalu? Selama ini? Kamu bilang lagi banyak acara di tempat kerjamu itu, ini buktinya. Iya?! banyak acara sama cewek nggak jelas dan beraninya merebut perhatianmu dariku." Aku menggerutu sendiri dan benar-benar menahan sesak panas cemburu.

Kalau saja ini bukan tengah malam, sudah kucabik-cabik perempuan di foto itu. Akan kucari dan kucaci maki ia. Supaya dia kapok, tak lagi kegenitan mengganggu pria orang.

"Kamu tega, dear. Kamu tega. Bahkan ia lebih mengenali dan lebih membuatmu bahagia dibanding aku, perempuan yang sudah merelakan sekeping hatinya hanya untuk menjagamu. Sosok laki-laki yang meluruhkan pesona manis, hingga aku bertekuk lutut tanpa daya atas satu kata: setia hingga bertahun lamanya."

Aku menangis sejadi-jadinya. Berteriak sekuat tenaga seperti anak kecil yang kehilangan mainan. Terisak di tengah malam. Sepi. Sendiri. Menahan perih tak terperi.

***

Klik. Suara pintu terbuka dari seberang sana.

"Sayang, kamu disini toh? Aku cari-cari di rumah kok nggak ada?"

Aku tergagap. Beringsut, mengelap air mata yang menetes tak terasa. Menyembunyikan isak tangis yang spontan kulakukan kala mengingat hal itu.

"Eeeehhh ... Iya. Maafin Adek, Mas. Tadi nggak bilang, kalau lagi pengen ngadem di vila sini. Mas udah pulang? Kok nggak sms aku dulu kalau mau pulang lebih awal. Aku kan jadi belum nyiapin makan untukmu, Mas."

"Tak apa, sayang. Lagian Mas kan mau kasih surprise buat, Adek. Dengan pulang lebih awal tanpa bilang-bilang. Hee ..."

Ia berjalan ke arahku. Sesosok pria berperawakan tinggi sedang. Penuh wibawa, lembut, dan keshalihannya mampu melumpuhkan akal tertinggiku. Dengan kemeja merah hati dan jas hitamnya ia nampak begitu gagah.

Mendekat dan mencium keningku.
Aku pun mengulurkan tangan, mencium tangannya penuh takzim. Mata kami berpandangan. Dari sorot matanya yang sejuk dan tenang aku tak menemukan alasan untuk tidak hormat dan mencintainya. Ia adalah keindahan dunia yang Allah hadiahkan untuk membersamaiku hingga ke syurga-Nya.

Aku mengalihkan pandangan.

"Eh, Mas. Coba lihat deh, dari atas sini. Lewat kaca jendela, kita bisa melihat hamparan hijau perkebunan warga sekitar. Sejuk dan tenang." Ucapku manja.

"Iya, Dek. Nanti kita bikin rumah yang dekat sini aja, ya. Biar Adek dan anak-anak kita kelak bisa setiap hari menikmati keindahan pemandangan hijaunya."

Aku tersenyum tanpa kata. Ia memelukku dari belakang sambil berbisik.

"How I do love u, my dear. May Allah blessing u always."

"Terima kasih banyak, Mas. Untuk segala apapun kebaikanmu."

"Oh iya, happy first anniversary, my love. Now, 15 Jully is our anniv."

"Waaaah ... Iya, kok aku sampai lupa, Mas."

Ia mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya. Sebuah mawar merah cantik dengan rona di wajahku yang terus memerah.

"Semoga pernikahan kita berkah dan segera dikaruniai jagoan-jagoan kecil pejuang kebaikan ..."

"Aamiin ...." Aku menerima mawar merah dari tangannya lantas kupeluk erat ia.

"Terima kasih banyak, Mas."

"Sama-sama, Dek. Semoga kamu bahagia."

***
Yah. Mas Khoirul adalah lelakiku kini. Lelaki sholih yang dengan keberanian dan niat baiknya, mendatangi kedua orang tuaku satu tahun yang lalu. Meminta agar aku menjadi penyempurna agamanya.

Tak ada alasan bagi kami untuk menolaknya, ia adalah lelaki baik, penyayang, dan penuh tanggung jawab.

Hingga tak berselang lama.

Kami saling mengenal lewat orang tua kami. Dilangsungkanlah pernikahan sederhana namun semoga penuh berkah.

Jika aku teringat dahulu, tentang kisahku dengan seorang laki-laki itu. Aku ingin tertawa dengan kekonyolanku menangisinya karena api cemburu. Sekaligus juga bersedih, betapa dahulu aku begitu lemah hingga terpedaya cinta yang belum halal.

Barangkali saat itu, Allah cemburu. Hingga aku merasa terpuruk begitu kejam. Aku begitu jahat, hingga lebih mencintai makhluk-Nya dari pada Allah. Aku begitu jahat hingga lebih mendahulukan mencintai lelaki itu, dibanding sibuk mencari perhatian dan mengemis kasih sayang-Nya. Hingga aku lebih sering merasa gundah gulana karena kehilangan kabar darinya daripada gelisah karena dosa maksiat dan kurang  khusuk beribadah.

Yang harusnya, sibuk belajar, memperbaiki pun meningkatkan kualitas diri sebagai seorang perempuan muslim. Aku malah lebih sibuk berdandan ria mempercantik diri untuk seorang yang kusebut; pacar.

Alangkah baiknya Allah, yang masih memberiku hadiah pasangan seperti Mas Khairul. Semoga cinta kami sehidup sesyurga.

Senja merona dari ufuk barat, menghiasi kebersamaan kami sore ini. Di hari ulang tahun  pertama pernikahan kami.

"Semoga tak ada cemburu lagi diantara kita; karena kita sama-sama saling menjaga dan saling percaya. Semoga Allah senang terhadap kita; karena kita adalah sama-sama pengemis yang mencari keridhoan-Nya. Untuk cemburu bodoh yang pernah kita lakukan, semoga Allah mengampuni kita." Doaku dalam bathin yang menghangat dalam pelukan.

2 komentar:

Silahkan berkomentar dan mari berdiskusi sehat. Terima kasih ... :)