Denting waktu, menyelaraskan hidup pada angin yang bertiup sepi dari timur ke barat.
Pintu-Pintu tertutup dan terbuka, menyelaraskan pada macam rasa gila yang menghampiri manusia.
"Kau gilaakkk".
"Kau Angkuh ".
"Kau keterlaluan".
"Kau ...... ." Ia lemas melanjutkan kalimatnya. Tertahan di mulutnya yang mulai membisu kembali. Lutut dan tangannya tak berdaya. Lunglai.
"Goyah".
"Geram".
"Bosan".
"Jenuh".
"Muaaakkkkkk."
"Aku muaaaakkkkk." Teriaknya semakin membahana pada palung hati terdalamnya.
"Aku muak."
"Aku lelah."
"Aku rindu."
"Aku sepi."
"Aku sendiri."
"Aku ......... "
hujan di matanya semakin deras menetes, mengalirkan sungai-sungai kecil air penuh luka.
Terdampar di sudut lekuk rumah. Dalam gelap ia mencoba meraba memeluk lututnya semakin erat. Tatapan matanya kosong, meski sungai kecil di matanya terus saja deras mengalir.
Grrrkk.
Gemeretak giginya beradu ngilu bercampur pilu.
Matanya memerah. Geram. Marah.
Ia menatap tajam pada salah satu ruangan yang terang temaram. Bercahayakan lampu templok khas pedesaan yang masih belum familiar dengan listrik.
Ruangan itu di penuhi riak hiruk pikuk sebuah keluarga. Namun, ada wajah yang murung kulihat. Ada tangisan bayi cukup keras, meronta meminta peluk hangat Ibu dan air susu sucinya.
Semua terlihat berusaha menenangkan bayi yang tak kunjung henti tangisnya.
Di sudut lain, ada seorang gadis kecil lugu nan manis yang terus setia menenangkan sang bayi.
Sementara laki-laki berperawakan tinggi, ia beranjak pergi ke peraduan tempatnya bekerja.
Perempuan dengan wajah manis dan kostum sederhananya pun beranjak pergi ke sawah yang tengah menuntut perhatian senantiasa dilindungi dari burung-burung pipit jahat. Mencuri lengah waktu dari pemilik sawahnya.
"Hwaaaaaa .... hwaaaaaaa .... " Tangis sang bayi tak kunjung henti, semakin membahana. Memekakan telinga sang gadis manis. Namun, dengan sabarnya ia coba terus untuk menenangkannya. Ia gendong sang bayi dengan penuh kasih sayang. Meski, itu tak bertahan lama.
Sang bayi kembali menangis. Kali ini lebih jahat. Ia tak bisa dan tak mau di gendong. Mengerang berguling di kasur yang cukup luas.
Sang gadis kebingungan, tetes-tetes air dari kelopak matanya mulai deras menetes.
Sedikit demi sedikit tapi pasti.
"Mah, come back to us again. Your baby needs u." Ujarnya membatin di tengah isak tangis yang sulit kuungkapkan sakitnya seperti apa dari wajah sayu ku teliti.
Samar-samar, bayangan kehidupan itu mulai menghilang. Seiring menghilangnya suara tangisan bayi dan isak tangis sang gadis manis.
"Aku ... benci .... Aku ... muak ... kembalikan ... semua bahagiaku ... kembalikan semua hakku ... kembalikan ... kau yang harus bertanggung jawab ... hei, kau pemuja materi ... hei, kau pemuja dunia ... hei, kau ... kekasih ... " Teriaknya bak palu godam di ketuk, namun seperti biasa ia kembali melemah di ujung kalimatnya yang ia lontarkan.
Ia kembali melemah, meringkuk, menangis, dalam isak tangis batin yang tak terperi dalam perhatian batinku.
"Aku yang salah ..." Ia kembali membuka percakapan bathinnya.
"Aku yang salah, kenapa aku tak membawa seberkas cahaya matahari itu lebih banyak untuk keluargaku. Kenapa aku malah hanya memikirkan cerah hangat untuk senangku sendiri ?"Gemeretak bathinnya melanglang pada ilalang yang kembali menggelayuti pikiran nya.
"Kak, where are u ? I miss u ...
"Dik, how are u ? U must know how I do love u, Dik ...
"Pa, Ma how about u ? U are my everything ...
"Dear, I need u ... "
Mereka seolah kelam. Tak nampak pada bagian hari-hari hidupnya. Hingga ia merasa menjadi seorang diri di tengah keterasingan yang membeku pasti.
Matanya semakin memerah. Dadanya semakin sesak dengan isak tangis yang semakin membuncah di dalam lautan hatinya.
Bergelombang. Terombang-ambing sakti dan sakit.
"Aku sendiri ...
Mereka sepi ...
Mereka tak perduli ...
Mereka akan pergi ... "
Kring kring. ..
Tiba-tiba sering telpon, menghendakinya dari alam sedih yang penuh perih.
Segera ia usap air matanya. Ia coba tampakkan wajah semanis wajarnya. Tangannya yang sedari tadi mendekap lutut erat. Mungil, nan lembut segera meraih ponsel di sampingnya yang sedari tadi berdering berkali-kali.
Pertanda masuknya telpon, dan chat dari aplikasi yang ia pasang di handphone nya.
Telpon pun mati. Sebelum sempat ia angkat. Rupanya itu telpon dari Kakak laki-laki kesayangannya.
Ia buka beberapa chat yang masuk dengan suara sesenggukan yang masih tersisa.
Terdengar perih memang.
1 ...
2 ...
3 ..
Chat yang masuk.
"Dik, Kakak rindu. Apa kabarmu sekarang ? Lama tak jumpa. Kapan kamu pulang ? Kaka rindu peluk manja dan cerita-ceritamu. Eh iya, kembaranku. Tetap selalu ingat Allah dan jangan lupa bersyukur yaa. Ga boleh banyak keluh. Semangat belajar. Sukses kuliahnya. Love u my dearest young sister." 💚💚💚
Ia scroll chat, dan tak terasa. Sungai-sungai di matanya tak henti mengalir.
Ia klik kembali. Dan kembali menemukan 2 chat yang masih belum ia baca.
"Dear, when we will meet again ? Aku tunggu kepulanganmu. Tau hubungan antara detak jantung dengan aku di tubuhku ? Itu begitu detak. Seperti itulah dirimu. Kamu adalah bahagia dan damaiku. Tetap jadi bahagiaku. Tetaplah bersamaku, jadi kawan hidupku bersama kita hadapi dunia ...
Karena, jarak takkan berarti. Kita tetap satu dalam hati. My dearest, happy to have u ... 💚💚💚."
Hiks ... tangisnya dalam lirih.
"Dear, aku bahagia denganmu. I am happy to have u. Tetap genggam tanganku seberapa sulit pun jarak dan waktu coba menguji sabarku. Aku kuat, dear. Aku kuat, dear" Jerit bahagianya dalam bathin.
Suara ramai terdengar dari luar. Ia bangkit dari tempatnya. Berjalan ke luar. Sinar matahari cukup cerah di luar. Menerangi seisi rumah, kala ia membuka pintu.
"Ibu ........ kami datang, hehehe maaf yaaa gak bilang-bilang dulu. Abisnya kita kangen sama Ibu. Kapan kita belajar bareng lagi ? Nyanyi sama belajar sholawat lagi ?"Via langsung menyerbu gadis beranjak dewasa itu.
Hhhhhh ... Aku terperangah melihat dan mendengar celotehan mereka. Yah mereka anak-anak didikku di sekolah ternyata.
" Iiiyaaa bu ... kita kangen sama Ibu. Ayo, bu kita kapan belajar bareng lagi." Sahut Risma tak mau kalah.
"Eh, ayo masuk dulu ke rumah." Mempersilahkan mereka masuk dan duduk di kursi ruang tamu nya yang sederhana namun tertata rapi, bersih, dan indah.
Sang gadis pun, tenyata mampu menyembunyikan isak pedih selama tadi di peraduan sesak bathinnya.
"Horreeeee, ayooo masuk.
Ayooo ..."Sorak mereka berempat Via, Risma, Keyvita, dan Aisyah.
Mereka pun masuk dengan riang gembira.
"Kami kangen, Ibuuuu ..." Serbu mereka seraya berebutan peluk dengan Ibu guru kesayangan mereka rupanya.
Klik.
Ada pesan masuk.
Ia coba membuka hp di genggaman tangannya. Di tengah serbuan peluk anak-anak menggemaskan itu.
" Dear, U are so precious to me. May Allah bless u always. 💚" Pesan cinta itu kembali ia terima.
Dengan senyuman merekahnya, seolah mengganti awan kelabu yang sedari tadi menggelayuti gulungan gelisah pikirannya.
Tentang sepi, cinta, dan kerinduan.
Ia kembali bersemangat menjalani hari-hari di hidupnya bersama bunga-bunga mekar mewanti yang selalu mengelilingi kehidupannya.
"Oh Allah, ... Betapa nikmat Tuhanmu yang manakah yang hendak aku dustakan ? "Bisik bathinnya.
💚💚💚
Nikmat tuhan manakah yg aku dustakan
BalasHapusTiba tiba terasa ngilu
Hihiy. .. ngilu kerana apakah gerangan Mba ? 😅
BalasHapus