Plakkk ...
Bulu kudukku merinding, melihat ceceran darah di lantai tak bersalah. Berserakan makhluk-makhluk pemberontak itu mati. Setelah sebelumnya bersikeras mempertahankan nyawa demi kelangsungan hidup.
Grrr ...
Bulu kudukku merinding lagi. Waktu menunjukkan pukul 00.19 WIB. Dentang lonceng waktu sudah berlalu sejak beberapa menit yang lalu.
Di kamar yang bersejarah ini, menjadi saksi akan pergulatan dua insan manusia. Ah, tak hanya dua tapi bahkan hampir belasan orang menjadi saksi atas kisah dan tragedi bersejarah ini.
Di kamar yang berselimutkan dingin pegunungan ini. Satu dua jejak mulai menghilang, setelah bertahun-tahun lalu ramai oleh gerak-gerik bersejarah mereka.
Satu dua tahun yang berlalu ...
Ia melaksanakan gerakan ajaib. Di mulai dengan membahana takbir pada gema takjub di hati nya, ruku, dan sujud sepasrah-pasrahnya menyerah pada pemilik bumi.
Tak hanya satu, mereka berdua. Berdiri hampir sejajar. Mengenakan kain putih-putih. Bersama melaksanakan gerakan ajaib itu.
Sementara di ruang tengah, terdengar celoteh gemas sang batita kecil. Tengah di candai oleh pria separuh abad berperawakan tinggi dan kulit hitam eksotis itu.
"Aku pergi." Yang keras di sahuti dengan kerelaan tapi tanpa persetujuan.
Seorang remaja lelaki tinggi dengan kantung mata dan sayup merah menggelayut di wajahnya.
Aku tak tau. Menatapnya, aku menangkap roman pemberontak yang telah meredam damai dari perjalanan bathinnya selama berjarak jauh hari dariku.
Trak ...
Suara langkah kaki pasti, grrkkk ...
Tangan seseorang membuka pintu, kemudian melangkah pasti masuk ke dalam ruangan sederhana di salah satu bagian bangunan ini. Melewati ruangan yang cukup gelap, disertai gemericik air dari mesin sanjo yang sumber nya dari hutan di samping rumah.
Di meja, ia hidangkan aneka masakan. Nasi, lauk pauk, lalapan, sambal terasi pedas, tak ketinggalan rebung dan pete yang dimasak bersama santan kesukaan adiknya. Semua telah terhidang dengan rapi, cantik, dan menggoda.
Hingar bingar televisi, ikut menyuarakan diri. Menemani seorang lelaki di ruang tengah yang terus saja berceloteh mengomentari istrinya yang teliti kudengar. Ternyata ia sedang berbincang ria dalam gelak tawa bersama kakakku.
Yah, aku adalah bungsu yang tidak jadi. Anak ke-5 dari 6 bersaudara. Aku punya adik perempuan kini ia tengah bersekolah di tsanawiyah dan mondok di kota Patroman.
Kakak perempuan 3, mereka adalah bidadariku di dunia. Dan aku punya 1 pangeran, yang satu-satunya paling gagah di antara kami ber-6. Yes, he is only one my brother. Aku hanya punya satu-satunya kakak laki-laki.
Selepas maghrib menggema, awan merah dan layung senja menyelimuti bumi menjadi kemerah-merahan perlahan menjadi gelap.
Aku ambil wudhu, bergegas menuju tempat berjamaah kami. Berbulan-bulan tak bertemu menyebabkan aku sangat rindu berbincang banyak dengannya. Dari mulai A - Z yang di lewati sepanjang keseharian di negeri orang.
"Ayo, Alea. Iqomah. Biar Kakak yang jadi imamnya." Ajak Haura, Kakak perempuanku yang paling dekat denganku.
Sementara itu, dari ruangan lain kudengar gema dzikir syahdu dari Bapak yang lebih dulu melaksanakan kewajiban maghribnya.
Kakak perempuannya yang yang paling tua, masih berkutat di dapur dengan pekerjaannya.
Sementara sang ponakan ciliknya, tengah bermain dengan ayahnya sambil belajar iqra dan doa-doa di ruang tengah.
"Ayo, Alea."
"Eh, Iya Kak."
Mereka sholat berjamaah. Syahdu kudengar Kakakku melantunkan ayat-ayat sucinya. Dari kedalaman hati, sesungguhnya ia iri pada kemahiran Haura kakaknya itu. Ia sangat cerdas. Pandai memahami ilmu agama. Sosoknya sungguh keibuan, namun sungguh bersahabat. Laiknya Ibu, Kakak, dan sahabat terbaiknya. Ia yang hanya beda 3 tahun usia dengan Haura Kakaknya itu.
Gerakan-gerakan sholat pun, ia laksanakan dengan tumaninah menambah romantis suasana pertemuan dengan-Nya itu.
"Assalamualaikum warahmatullah ..."
Salam pertanda sholat mereka telah usai di laksanakan. Dengan menengok ke kiri dan ke kanan berhikmah bahwa umat Islam harus senantiasa saling menebar kebaikan dan salam kepada siapapun.
Gemeretak angin menghembus dingin yang semakin menusuk dari luar. Beberapa kudengar samar, suara tetangga tengah mengobrol ini itu urusan mereka.
Usai sholat dan berdoa bersama. Ia sandarkan kepalanya di pangkuan Haura. Bergelayut manja ini dan itu dengan ditanggapi nasihat-nasihat sejuk Kakaknya. Terkadang di ramai kan gelak tawa dan teriakan manja dan tak mau kalah adiknya.
"Alea, belajar yang benar ya. Pergi ke perantauan, untuk belajar. Jangan pernah lupakan sholat. Berbakti an mendoakan orang tua. Engga usahlah neko-neko sama hal yang nggak baik. Ingat, ridho Allah yang kita cari." Kakaknya berbicara dengan tangan mengelus lembut kepada adik kesayangannya itu.
Kalimat-kalimat itu, terasa seperti angin sejuk yang merasuk ke bathin dan menghangatkan pikirannya.
"Hhhmmm iyaaa, Kak." Sahut Alea diiringi senyum manjanya.
Dentuman suara kaki tiba-tiba menerjang pundak Alea. Gorden yang menutupi kamar tempat mereka sembahyang tadi itu terbuka dengan cepat.
"Bibi ........... "
"Eh, rupanya Atta toh. Ihh ponakan Bibi yang paling lucu, sholeh, dan pinter ini. Ngagetin aja."
"Ugh, Atta sakit tau. Masa punggung Bibi diserbunya gitu seenaknya aja." Alea menggerutu sambil cemberut.
"Ayooo ... main, Bi......"
*Plaaaakkkkk ... darah kembali mengalir di tangannya.
"Uhhh, dasar nyamuk ngeselin. Ganggu lamunan orang aja. Udah banyak yang aku mati in sampai berceceran darah gitu juga di lantai. Masih aja pada datang."
Gerutu Alea, tersadar dari lamunannya.
Ah, ia rupanya tengah menyelami lautan kenangan bersama Kakaknya Haura dan keluarganya di kampung halaman. Sosok yang luar biasa bak salju di tengah gurun sahara itu, tengah ia rindui bercelak hari bersamanya.
*Salam ukhuwah, cinta, rindu, dan sayang dari adik pengagum rahasiamu Teh hehe
#ODOP Batch 3
Kirain ini tntang pmbantaian gt mba. Terkecoh sayahhh :)
BalasHapusXixi. .. lagi belajar Mba bikin cerpen fiksi nya ... niat nya mh pengen niruin gaya nya uncle sama Mak Vini. ... Yg suka bikin surprise gituh Mba hihiy. ... krisan nya Mba ... 😁
HapusTerima kasih sudah berkunjung 😊