"Berangkatlah, Nak! Hapus segala keraguan di hatimu. Tak ada yang perlu di khawatirkan, semuanya akan tetap baik-baik saja. Asalkan hatimu lapang dengan sabar dan syukur kepada takdir Sang Maha Baik."
"Huh ... Iya, baiklah! Mendengar nasihatmu aku sedikit lebih lega dan bersemangat menyeberangi jalan ini."
"Berangkatlah, Nak. Aku akan tetap setia menungguimu disini. Di depan sana di balik gedung bertingkat dengan dinding hijau bertuliskan nama-nama sahabat Nabi, meskipun penuh perjuangan tapi akan kau temukan cahaya yang akan bisa selalu kau petik sinarnya di masa depan."
Gadis mungil itu pun melambaikan tangan dengan seringai senyumnya menghapus kemelut memberanikan diri menyeberang ditengah ramai kendaraan jalanan kota.
***
Jalanan ini menjadi saksi bisu antara aku dan halaman kehidupan. Bermacam wujud manusia sering menemuiku. Mereka sekadar bertamu, duduk-duduk, menikmati hidangan kopi pahit dan manis alur hidup. Ataupun sekedar lewat, menatapku, lalu pergi begitu saja.
Awalnya aku tak biasa mendengar caci maki manusia-manusia itu. Mereka seperti kehilangan nalar. Pergi dari rumah mencari tumpukan rupiah dengan menodong tangan di trotoar jalan. Muka sangar mereka mampu meluluhlantahkan mental pemberontak para supir angkot. Tunduk berlemah lembut padahal hati ngedumel kesal.
"Mana setorannya? Udah lama kagak ngasih setoran lu!" Bentak seorang wanita dengan tangan memegang rokok yang sedang mengepul.
Dari wajahnya aku mengira dia belum terlalu tua. Namun, penampilannya sungguh membuat aku takut. Ia macam preman yang kerjaannya memintai uang pada setiap sopir angkutan.
"Ini Mbak." Sahut seorang Bapak tua sambil menyodorkan beberapa lembar uang.
"Laah masa cuma segini sih, Pak! Yang bener dong. Kalo nggak, nggak usah narik disini lagi."
"Yaa jangan gitu dong, Mbak. Saya butuh makan. Keluarga saya harus dinafkahi." Ah, aku sungguh tak tega melihat raut muka Bapak itu. Memelas dengan wajahnya yang menghitam karena terik matahari ibu kota.
"Makanya sini uangnya yang bener." Wanita itu merampas uang berwarna merah dari tangan Pak supir.
"Mbak jangan yang itu, saya kasih makan anak saya pakai apa kalau uang itu semuanya diambil, Mbak."
Batinku menjerit melihat tingkah kurang ajar wanita itu. Kalau saja aku mampu akan kusuruh ia tak usah bekerja. Lebih baik di rumah, banyak beristirahat, menikmati masa tua bermain bersama cucu-cucu yang lucu.
***
Di siang bolong kala aku tengah setia menunggui sang gadis pulang dari tempatnya belajar. Ku tengokkan wajah ke kiri dan ke kanan. Barangkali sang gadis sudah akan menyeberang pulang.
Tiba-tiba terdengar suara berdebam.
"Ah, kurang ajar para penumpang itu. Ngasih duit pun susahnya minta ampun. Padahal gue udah nyanyi, minta-minta dengan nada melas sama mereka. Orang-orang itu emang kurang ajar, pelit huh ..."
Kutelisik setiap ingatan di otakku, melihat penampakan anak laki-laki berkisar usia 17 tahunan itu. Wajahnya lusuh. Bajunya kumal. Tato dan tindik dimana-mana.
"Ah iya, dia pengamen jalanan itu." Gumamku.
Beberapa tahun lalu dia datang kesini dengan wajah yang masih lugu hendak mencari peruntungan di ramai kota. Kebosanannya tinggal di desa karena tak bisa bersekolah apalagi cari duit memaksanya harus merantau.
Tapi, kini seperti ia tak tahan dengan kejamnya Ibu kota yang kejamnya melebihi kejam ibu tiri.
Yang kuketahui profesinya adalah mengamen dari satu mobil ke mobil lain dari satu bis ke bis lain atau dari satu restauran ke restaurant lain.
"Aahhh ... kejamnya hidup. Siapa yang harus aku salahkan. Gue lelah ... untuk cari makan pun susahnya bukan main bah bah" Aku mendengar rintih batinnya ngilu.
Di usianya yang sekarang, seharusnya ia sedang menempuh pendidikan sekolah menengah atas. Penuh hangat dengan kasih sayang dari keluarga. Senang-senangnya bermain dan menghabiskan waktu dengan tugas sekolah dan teman-teman SMA-nya.
Tapi, apa yang terjadi bahkan untuk bersekolah pun ia sudah tak punya harapan. Kuketahui beberapa kali mencuri dengar rintihnya, orang tuanya sakit-sakitan. Ayahnya tak bekerja. Ibunya begitu sabar merawat adik yang masih sekolah dasar, sambil melakukan pekerjaan apa saja yang penting dapat uang untuk makan sehari-hari.
"Dik, andai saja aku bisa. Ingin sekali aku menyekolahkanmu sampai kau puas belajar. Menuntut berbagai macam ilmu yang berguna buat kau hidup supaya bahagia kau di dunia dan punya bekal untuk di akhirat. Tak usahlah kau hiraukan cari uang untuk makan apalagi untuk menafkahi keluargamu di usia yang masih belia itu." Rintik air membasahi pelupuk turun deras tak terasa.
***
Dilain waktu, aku saksikan mobil-mobil mewah lewat. Di dalamnya sekeluarga lengkap hendak berwisata menikmati liburan panjang. Ku tangkap dari rona wajahnya ketika ia berhenti sejenak meminggirkan mobil. Mereka keluarga bahagia.
Ya, ada seorang Ibu anggun dengan balutan jilbabnya. Tengah bercengkrama dengan ketiga anaknya. Yang paling besar, anak laki-laki belakangan ku ketahui sudah merampungkan S2 nya di luar negeri, sudah bekerja di perusahaaan besar di Australia, dan baru saja beberapa hari menikah.
Dan kedua anak daranya. Sungguh cantik-cantik dan baik hati sepertinya. Dengan hangat dan ramah, mereka tengah bercanda asyik memperbincangkan tentang kuliah mereka di luar negeri, tentang aktivitas yang ingin dilakukan di tempat liburan nanti setelah sampai. Atau tentang makanan yang ingin mereka makan, untuk makan malam nanti di restauran mahal langganan mereka.
"Aku mau ayam teriyaki, Bunda." Sahut Shakira si bontot yang bongsor.
"Kalau aku, mau es krim aja deh bunda. Masih kenyang tadi siang udah makan." Sonia menyambut.
"Hm hm hm kalau Abang mau makan apa aja deh, yang dipesan sama Bunda."
"Iya iya ... nanti tinggal kita pesan kalau udah sampe di restaurant tempat temannya Ayah itu." Sahut sang Bunda menenangkan keriuhan mereka.
"Eh, apasih anak-anak Ayah ini pada berisik. Ayo kita berangkat lagi, ayah udah selesai teleponnya."
"Ayo ayah ... kita liburan ... Kami capek kemarin-kemarin sibuk sama tugas kuliah dan belajar. Hehehhe" Sahut ketiga anaknya serempak.
"Ayooo ... jangan lupa baca doa dulu ya."
"Siap mom dad ..."
Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju tempat liburan yang sudah sangat mereka nanti-nantikan.
Ah, sungguh damai sekali melihat keluarga bahagia dan sempurna menurutku. Kedua orang tua yang bertanggung jawab, dan membahagiakan anak-anaknya. Pun anak-anak yang baik hangat terhadap keduanya."
***
Eh, gadis itu sudah akan menyeberang pulang. Ia segera menuju tempatku dengan hati-hati.
"Hei gadis, udah selesai belajar dan kerjaannya?"
"Udah dong, Alhamdulillah. Sekarang waktunya aku pulang ... beristirahat, mengerjakan tugas kembali, belajar, dan persiapan lagi untuk besok."
"Syukurlah."
"See you lampu merah dan bahu jalan. Esok aku akan kembali lagi menyapamu yaaa." Pamit sang gadis dengan riang.
Aku tersenyum melihat tingkah lucunya sambil menaiki angkot menuju tempat tinggalnya.
Ah, semoga kau tetap bertahan dengan macam-macam kebaikan dan tugas yang kau emban gadis manis.
***
Hari sudah semakin gelap. Dan aku tetap setia menjadi saksi bisu bermacam perjalanan kehidupan lalu lalang umat manusia.
Tangerang, 12 Juli 2017.